Masih Ampuhkah Pancasila Dalam Menjaga Kesatuan Bangsa?


Oleh: Feri Hyang Daika

Dewasa ini, gaung-gaung dari semarak kemerdekaan telah diartikan secara luas oleh berbagai kalangan di negeri seribu pulau ini, Indonesia. Munculnya berbagai kelompok yang oleh pemerintah disebut sebagai gerakan separatis yang merongrong integrasi bangsa atau kesatuan bangsa menjadi sebuah perhatian khusus bagi kaum nasionalis dan pemerintah, terutama bagi kalangan yang memegang teguh prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang bersumber dari Pancasila, yang dipandang sebagai “alat” pemersatu bangsa ditengah pluralis-ragam macam suku dan budaya yang ada di Indonesia.

Munculnya kelompok-kelompok perjuangan kemerdekaan itu kemudian membuat esensi kesaktian Pancasila sebagai pemersatu bangsa patut untuk dipertanyakan. Masih ampuhkah Pancasila dalam menjaga kesatuan bangsa ini kedepannya?

Sebuah pertanyaan yang jawabannya tentu tidak bisa dipastikan saat ini sebab menurut buku yang berjudul “Tahun 2015 Indonesia Pecah” karangan Djuyoto Suntani, mengindikasikan bahwa pada tahun 2015 yang disebut Indonesia hanyalah Jamali atau Jawa, Madura dan Bali. Lalu sisanya? Daerah yang lain diramalkan akan terpecah belah menjadi lebih kurang 15 negara-negara yang berdiri sendiri.

Pecahnya Indonesia ini diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya yaitu:
1. Kepentingan primordial (kesamaan etnis),
2. Ikatan ekonomis (kepentingan bisnis),
3. Ikatan kultur (kesamaan budaya),
4. Ikatan ideologis (kepentingan politik), dan
5. Ikatan religius (membangun negara berdasar agama).

Selain itu, isu politik nasional juga turut menjadi salah satu faktor karena tarik ulur kepentingan para politisi di negeri ini telah menggiring bangsa kearah kehancuran.

Sila Persatuan Indonesia telah benar-benar “diperkosa” oleh tarik ulur kepentingan-kepentingan kelompok yang merasa kecewa terhadap kinerja pemerintah pusat yang dinilai gagal dalam memenuhi amanat UUD 1945 untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Alih-alih mensejahterakan rakyat Indonesia, pemerintah dinilai kurang memperhatikan keberlangsungan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Program pemerintah yang mungkin maksudnya adalah baik kemudian diterjemahkan menjadi sebuah propaganda politis, yang kemudian menjatuhkan citra positif pemerintah. Sebut saja misalnya program konversi minyak tanah ke gas elpiji telah menyebabkan keresahan di kalangan masyarakat luas. Kita semua tahu dan telah sering menyaksikan di berbagai tayangan televisi, hampir setiap hari tabung gas elpiji bak sebuah bom yang selalu memakan korban nyawa dan harta masyarakat Indoensia.

Selain itu, keterbelakangan pembangunan ekonomi dan pendidikan diluar pulau Jawa telah menyebabkan ketimpangan di berbagai daerah, sebut saja Kalimantan dan Papua yang sampai hari ini masih bergelut dengan masalah-masalah klasik yang terkait dengan pembangunan ekonomi dan pendidikan. Padahal, dalam pemetaan sumber daya nasional, di dua daerah tersebut terdapat berbagai macam sumber daya alam yang menjanjikan dalam menyumbang peningkatan pembiayaan APBN.

Tetapi ironis, masalah klasik lainnya yang berupa kemiskinan masih melekat diantara warga negara yang berusaha setia untuk patuh terhadap Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Bayangkan, apabila Sumatera, Kalimantan dan Papua tak lagi menjadi bagian daripada Indonesia bagaimanakah nasib kelangsungan bangsa ini dalam membiayai belanja negaranya??

Hal-hal yang seperti inilah kemudian membuat daerah merasa “cemburu” atas ketidakadilan pemerintah pusat dalam membangun dan mensejahterakan bangsa ini, pembangunan terkesan terlalu sentralistik, yaitu dipulau Jawa saja. Akibatnya muncullah kelompok-kelompok perjuangan yang mencoba berusaha untuk melepaskan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri.
Untuk meredam aksi disintegrasi bangsa atau perpecahan bangsa dan menjaga agar Pancasila sebagai sumber kesatuan bangsa tetap dijunjung tinggi, pemerintah pusat kemudian mengeluarkan peraturan yang dinilai oleh beberapa ahli malah semakin mematangkan aksi disintegrasi bangsa itu sendiri.

Peraturan tersebut tak lain adalah Otonomi Daerah (Otonomi Khusus bagi daerah tertentu) yang intinya memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan kebutuhan atau keperluan masing-masing daerah. Tetapi kemudian banyak kalangan menilai bahwa otonomi daerah ini diibaratkan seperti mobil mainan remot konrol yang mobilnya (daerah) seolah dibiarkan untuk “bebas” melakukan apapun sejauh tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan pemerintah lainnya, namun kontrol atau kendalinya tetap ada pada pemerintah pusat, sebuah otonomi yang setengah hati yang kemudian mengarahkan kepada aksi provokasi untuk melakukan pemisahan diri dari Republik Indonesia-yang juga berarti bukan hanya telah “memperkosa” sila Persatuan Indonesia tetapi barang kali juga dapat dikatakan telah “membunuh” sila tersebut manakala disintegrasi bangsa benar-benar terjadi. Pancasila yang hanya tinggal nama.

MENGADUKAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH POLISI

sumber gambar: www.google.com


A. Bentuk-Bentuk Pelanggaran
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Secara yuridis dapat disimpulkan polisi juga merupakan aparat penegak hukum, sama halnya dengan pejabat pemerintah, hakim dan jaksa.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum, polisi harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku: UU Kepolisian Negara, KUHP, KUHAP dan peraturan lainnya berupa Kode Etik Profesi Kepolisian yang diatur dalam Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Keputusan Kapolri) Nomor Kep/32/VII/2003, tanggal 1 Juli 2003 dan Peraturan Disiplin Anggota
Kepolisian Republik Indonesia yang diatur dalam PP Nomor 2 Tahun 2003.

Peraturan-peraturan tersebut bersifat mengikat, artinya apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian, seyogianya dapat dikenakan sanksi, seperti yang tercantum dalam Keputusan Kapolri Nomor Kep/32/VII/2003 tanggal 1 Juli 2003.

“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa:
1. Bertutur kata kasar dan bernada marah,
2. Menyalahi atau menyimpang dari prosedur tugas,
3. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat,
4. Mempersulit masyarakat yang memutuhkan bantuan/pertolongan,
5. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat,
6. Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan,
7. Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umur,
8. Merendahkan harkat dan martabat manusia”
(Pasal 7 Kode Etik Profesi Kepolisian)

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat menimbulkan hak bagi masyarakat yang dirugikan untuk membuat laporan atau pengaduan supaya aparat kepolisian yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran dapat ditindak secara hukum.

B. Tata Cara Pengaduan
1. Pelapor berdasarkan Surat Keputusan Kapolri Nomor 33 Tahun 2003, dapat berasal dari:
a. Masyarakat (korban/kuasanya),
b. Anggota Polri,
c. Instansi terkait,
d. LSM,
e. Media massa.

2. Laporan disampaikan kepada Pelayanan Pengaduan (Yanduan) baik yang ada di Mabes Polri maupun yang berada pada tingkat daerah maupun wilayah.

3. Pemeriksaan awal dilaksanakan oleh pengemban fungsi Provoost pada setiap jenjang organisasi Polri, seperti: Divpropam (Divisi Profesi dan Pengamanan) pada tingkat Mabes Polri.

4. Hasil pemeriksaan akan ditelaah, dengan hasil:
a. Jika terdapat unsur tindak pidana maka berkas perkara akan diberikan kepada Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan di pengadilan umum,
b. Jika terdapat unsur pelanggaran kode etik maka berkas perkara akan dilimpahkan kepada atasan yang berhak menghukum (Ankum) yang selanjutnya akan dibuat komisi kode etik Polri,
c. Jika terdapat unsur pelanggaran disiplin maka berkas perkara akan dilimpahkan kepada atasan yang berhak menghukum (Ankum) yang selanjutnya akan diperiksa dalam sidang disiplin.

5. Terhadap masing-masing pelanggaran memiliki sanksi yang berbeda, diantaranya:
a. Jika terbukti pelanggaran yang dilakukan memiliki unsur pidana, maka sanksi yang akan diberikan berdasarkan pada ketentuan pasal-pasal dalam KUHP,

b. Jika terbukti yang terjadi adalah pelanggaran kode etik maka sanksinya berupa:
i. Dinyatakan sebagai perbuatan tercela,
ii. Diperintahkan untuk menyatakan penyesalan dan minta maaf secara terbatas atau terbuka,
iii. Tidak layak lagi menjalankan profesi kepolisian.

c. Jika terbukti yang terjadi adalah pelanggaran disiplin maka sanksinya berupa:
i. Teguran lisan,
ii. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama satu tahun,
iii. Penundaan kenaikan gaji berkala,
iv. Penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun,
v. Mutasi,
vi. Pembebasan dari jabatan,
vii. Penempatan dalam tempat khusus selama 21 hari.

Sumber referensi: Buku Panduan Hukum Di Indoensia, Edisi kedua, Yayasan Obor Indonesia, 2009.

Sekilas Tentang Korban dan Kejahatan

A. Pengertian Korban
Undang-undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (Pasal 1 angka 2).
Korban juga didefinisikan oleh van Boven yang merujuk pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan sebagai berikut: “orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).”
Secara luas pengertian korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung, akan tetapi korban yang tidak langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat diklasifikasikan sebagai korban. Yang dimaksud korban tidak langsung disini seperti isteri kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua yang kehilangan anaknya dan lain sebagainya.
Sedangkan menurut Mandelson, berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi 5 macam, yaitu:
1. Yang sama sekali tidak bersalah
2. Yang jadi korban karena kelalaiannya
3. Yang sama salahnya dengan pelaku
4. Yang lebih bersalah daripada pelaku
5. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan)

B. Hak-Hak Korban
Hak-hak korban diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No 13 tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan bahwa korban berhak untuk:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan keamanan.
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan.
d. Mendapat penerjemah.
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.
g. Mendapatkan informasi mengenai keputusan pengadilan.
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.
i. Mendapat identitas baru.
j. Mendapatkan tempat kediaman baru.
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
l. Mendapat nasihat, dan/atau
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Adapun hak-hak para korban menurut van Boven adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan dan hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan, baik material maupun nonmaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrument-instrumen hukum mengenai hak asasi manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asasi manusia.

C. Pengertian Kejahatan
Kejahatan menurut hukum pidana adalah setiap tindakan yang dilakukan melanggar rumusan kaidah hukum pidana, dalam arti memenuhi unsure-unsur delik, sehingga perbuatan tersebut dapat dihukum. Atau perbuatan yang dilarang atau diancam pidana barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut.
Kejahatan dalam konsep yuridis juga berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukuman pidana. Sejalan dengan pengertian tersebut, Wirjono Prodjodikoro mengatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana.
Van Hattum mengatakan bahwa suatu peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang menyebabkan hal seseorang (pembuat) mendapatkan hukuman atau dapat dihukum.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kejahatan dalam arti yuridis adalah kejahatan yang diatur oleh undang-undang. Atau dengan kata lain, setiap perbuatan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai undang-undang.

Referensi: Rena Yulia, Viktimologi; Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010.

Kritik Terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Oleh Feri Hyang Daika

''Jika agama tidak bisa menangkal kejahatan, ia pun tak bisa mengklaim dirinya sebagai daya kebaikan yang efektif ''
-Morris Raphael Cohen-


 sumber gambar: www.google.com

Pada era sekarang ini, di Indonesia khususnya, pengaturan mengenai agama dan kepercayaan warga negaranya menjadi sebuah polemik besar ketika kemajuan zaman menuntut kebebasan setiap individu untuk melakukan perbuatan tertentu maupun kebebasan yang berasal dari negara itu sendiri melalui UU No. 39/1999 tentang HAM yang mengatur serta menjamin beberapa kebebasan dari masyarakat Indonesia, termasuk kebebasan untuk beragama atau berkeyakinan.

Agama telah menjadi simbol keberadaban umat manusia Indonesia masa kini, akibatnya seorang warga negara Indonesia 'wajib' memeluk suatu agama tertentu dari 6 agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia, jika ia tidak mau dianggap sebagai manusia kafir dan berdosa karena tidak beragama. Pengaturan yang demikian tidak lebih seperti seekor anjing yang diikat lehernya oleh sang tuan, pemaksaan individu untuk beragama oleh negara. Lalu kalau-kalau hal itu memang benar demikian adanya, apalah artinya beragama bila hanya sebagai status dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan pelengkap administrasi negara?

Seseorang dianggap kafir dan berdosa bila tak memeluk suatu agama tertentu. Lalu kemudian muncul ormas-ormas yang berhaluan keagamaan menjadi semacam 'polisi moral' yang 'menghakimi' warga negara yang tidak patuh pada norma agama. Bahwa seseorang dianggap bertentangan dan bahkan melanggar ketentuan agama tertentu. Kemudian untuk melegitimasi tentang keber-agamaan di Indonesia, beberapa peraturan perundang-undangan menyematkan syarat-syarat tertentu berkaitan dengan agama. Misalnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan bahwa "perkawinan adalah sah menurut hukum masing-masing agamanya (Pasal 2)". sebuah pengaturan yang jauh dari kebijaksanaan, meng-agama-kan umat manusia ditengah keberagaman umat manusia itu sendiri.

Sementara bagi para penganut keyakinan, selalu berada pada posisi yang kurang beruntung di negeri Pancasila ini, negara yang menurut landasan filofisnya mengakui dan seharusnya menjamin kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan. Meskipun keyakinan itu sendiri diakui oleh negara tetapi pada konteks kenyataannya bahwa seseorang yang berkeyakinan harus pula beragama. Untuk itu, demi kelengkapan adminitrasi kependudukan, mereka harus mempunyai KTP dan didalam KTP itu terdapat kolom agama yang harus diisi oleh setiap warga negara. Disinilah letak kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi terabaikan. Mereka harus memilih satu agama tertentu padahal mereka punya keyakinan sendiri. Lalu apakah bedanya beragama dan berkeyakinan? Agama menjadi alat untuk mengajarkan kebaikan-kebaikan begitu pula dengan keyakinan, yang pada umumnya mereka begitu sangat menghargai prinsip-prinsip mulia seperti menjaga alam dan sebagainya.

Campur tangan negara dalam penentuan keber-agamaan penduduk Indonesia memang bila ditinjau dari tujuan negara, maksudnya adalah baik, membekali umat manusia dengan pengetahuan religiusitas dengan harapan akan tercipta insan yang ber-akhlak mulia (harapannya). Namun pengaturan tentang agama ini telah menjadi sarat dengan muatan politis. Seseorang yang tidak beragama 'dipaksa' untuk memeluk suatu agama tertentu yang jelas punya tujuan dan maksud tertentu pula, sedangkan para pemeluk keyakinan tertentu diluar agama yang secara sah diakui oleh negara menjadi terintimidasi lewat peraturan ini. Padahal, Pancasila menghendaki agar terjadi umat Indonesia yang bisa hidup berdampingan tanpa dipisahkan oleh suku, ras dan termasuk agama.

Tetapi kondisi di Indonesia masa kini, telah mencampur-adukan pemahaman religiusitasnya dengan kepentingan politis. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, sampai saat ini masih belum bisa diwujudkan sepenuhnya oleh negara dan sekelompok masyarakatnya sendiri.

2 Pasal Kontradiktif dan Diskriminatif dalam UU No 1/1974 tentang Perkawinan

 sumber gambar: www.google.com


Oleh: Feri Hyang Daika

Perkawinan adalah suatu hal yang sifatnya sakral dalam hidup umat manusia. Begitu juga bagi negara, perkawinan dinilai sebagai sebuah perbuatan hukum dimana negara harus ambil bagian dalam urusan perkawinan warga negaranya, maka tidaklah heran kalau-kalau ada peraturan perundangan yang secara spesifik mengatur tentang bagaimana proses perkawinan itu berlangsung hingga bagaimana pula suatu perkawinan menjadi berakhir atau lebih dikenal dengan istilah perceraian. Dalam pengaturan tersebut tentu ada banyak hal yang harus benar-benar diperhatikan dalam rangka menjadikannya sebagai dasar atau asas dari sebuah produk hukum khususnya tentang perkawinan yang berlaku secara nasional.

Dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, diakui (dalam penjelasan) Pasal 3 bahwa UU No 1 tahun 1974 menganut asas monogami yang artinya pada asasnya bahwa dalam suatu perkawinan menurut undang-undang ini, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun pada pasal yang sama, dalam hurub (b), dikatakan bahwa pengadilan dapat memberikan ijin kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang sepanjang dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Dua kententuan yang tertulis dalam satu pasal ini secara terang-terang dapat dilihat terjadi suatu kontradiktif, dimana pada ayat sebelumnya dikatakan bahwa asas suatu perkawinan adalah monogami sementara pada ayat berikutnya dikatakan bahwa pengadilan dapat memberikan ijin kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang. Ada pengingkaran terhadap asas perkawinan dalam pasal tersebut.

Pengingkaran atas asas monogami ini berakibat pada diskriminasi terhadap kaum perempuan, bunyi dari pasal tersebut sangat bersifat patrialkal, menempatkan dan menitik beratkan perhatiannya kepada kepentingan laki-laki. Pendiskriminasian terhadap perempuan dalam undang-undang ini tidak berhenti pada Pasal 3 saja. Dalam Pasal 4, akan sangat terlihat jelas bahwa pendiskriminasian dalam undang-undang ini sangat kental sekali. Pasal 4 ayat (2) mengatakan bahwa pengadilan memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: (a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri, (b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, (c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam pasal 4 tersebut, seluruhnya mengatur tentang kepentingan laki-laki. Laki-laki seperti diberikan hak eksklusif untuk melakukan perkawinan lagi dengan alasan yang secara legal formal tertulis didalam undang-undang.

Persyaratan yang tertulis dalam Pasal 4 diatas, apabila dicermati satu per satu, keseluruhannya menempatkan perempuan pada posisi yang termarjinalkan, menjadikan bunyi dari pasal ini sangat bias jender. Yang artinya secara tidak langsung, memberikan kesempatan kepada laki-laki dewasa untuk menikahi lebih dari seorang perempuan dalam hubungan perkawinan yang sah menurut undang-undang dengan alasan yang kurang rasional.

Sungguh keadilan dalam undang-undang ini patut untuk dipertanyakan, memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk melakukan perkawinan dengan perempuan lain manakala sang isteri dianggap tidak dapat menjalankan kewajiabannya sebagai isteri atau si isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang sulit disembuhkan. Tetapi sebaliknya bagaimanakah jika dalam perkawinan tersebut si suami yang mendapat cacat badan dan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami? Apakah oleh undang-undang ini, si isteri diijinkan untuk bersuami lebih dari seorang? Tentu tidak, dalam undang-undang ini tidak ditemukan satu pun pengaturan tentang hal sebaliknya seperti yang diatur dalam pasal 3 huruf (b) dan Pasal 4 ayat (2).

Dengan demikian, dapat diambil sebuah kesimpulan sederhana bahwa dua pasal tersebut jelas-jelas sangat kontradiktif dan diskriminatif bagi perempuan. dimanakah para feminis modern Indonesia yang selalu memperjuangkan kesetaraan jender selama ini, apakah mereka “sengaja” membiarkan persoalan yang bisa disebut bias jender ini ataukah memang tak ada keadilan didalam hukum sehingga sesuatu yang tidak adil justru ditemukan dalam sebuah produk hukum yang diharapkan dapat memberikan rasa adil pada pihak yang terikat-terkait undang-undang ini.

POLEMIK PERKAWINAN BEDA AGAMA


Oleh: Feri Hyang Daika

 sumber gambar: www.google.com
Menikah beda agama, dalam Islam ada 2 jenis menikah beda agama:
  1. Laki-laki beragama Islam menikah dg perempuan non-Islam
  2. Perempuan beragama Islam menikah dg laki-laki non-Islam


Untuk poin 1, hukumnya adalah MAKRUH. Sedangkan untuk poin 2, hukumnya jelas-jelas DILARANG (HARAM). Baik…untuk lebih mantapnya, kami buka referensi2, diantaranya Fikh Sunnah karya Sayid Sabiq dan Tanya Jawab Agama dari tim PP Muhammadiyah.

Mulai dari poin 2.
Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dg laki2 non Islam adalah Al Baqarah(2):221,

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Jadi, bisa dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dg laki2 non Islam, maka akan dianggap berzina.

Pada kesempatan ini, kami hanya akan membahas lebih detil poin 1 yaitu pernkawinan antara Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg Ahli Kitab di sini adalah agama Nasrani dan Yahudi (agama samawi). Hukumnya BOLEH, dengan dasar Al Maidah(5):5,

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”


Secara ringkas bisa kita bagi menjadi demikian :

1. Suami Islam-istri ahli kitab = boleh

2. Suami Islam-istri kafir bukan ahli kitab = haram

3. Suami ahli kitab-istri Islam = haram

4. Suami kafir bukan ahli kitab-istri Islam = haram

Menurut Undang-undang :
Hukum di indonesia tidak memungkinkan untuk melaksanakan hukum antaragama (islam dan kristen). benarkah demikian? seandainya sepasang lelaki dan perempuan yang berbeda agama ingin melangsungkan pernikahan, bagaimana caranya, apakah bisa dilakukan di indonesia atau harus pergi ke luar negeri. Apakah perkawinan beda agama dapat dilakukan melalui nikah siri?

Dalam Undang-undang tidak diatur tentang perkawinan beda agama. Tetapi dalam pasal 1 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu : "Ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa". Berarti dituntut, bila akan melaksanakan perkawinan, dasari atas ikatan lahir batin.

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Artinya pihak yang akan kawin menganut agama yang sama. Jika kedua-duanya itu berlainan agama, menurut ketentuan dalam UU Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya ikut menganut agama pihak lainnya itu.

Oleh sebab itu disarankan jika ingin melangsungkan perkawinan, berpedoman pada perkawinan Campuran - S. 1989 : 158, dalam hal ini Kantor Catatan Sipil yang melaksanakannya. Dari ketentuan ini, jelas sudah bahwa anda tidak perlu ke luar negeri jika ingin melaksanakan perkawinan.

Pengertian Perbuatan Melawan Hukum



A. Definisi Perbuatan Melawan Hukum

Sumber: www.google.com
Dahulu pengadilan menafsirkan “melawan hukum” hanya sebagai pelanggaran dari pasal-pasal hukum yang tertulis semata-mata (pelanggaran perundang-undangan yang berlaku) tetapi sejak tahun 1919 terjadi perkembangan di negeri Belanda, dengan mengartikan perkataan “melawan hukum” bukan hanya untuk pelanggaran perundang-undangan tertulis semata-mata, melaikan juga melingkupi atas setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat.

Sejak tahun 1919 tersebut di negeri Belanda dan demikian juga di Indonesia, perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut:
  1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.
  2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
  3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
  4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.
.
Berikut ini penjelasannya untuk masing-masing kategori sebagai berikut:

1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.
Hak-hak yang dilanggar tersebut adalah hak-hak seseorang yang diakui oleh hukum, termasuk tetapi tidak terbatas pada hk-hak sebagai berikut:

a. Hak-hak pribadi (persoonlijkheidsrechten)
b. Hak-hak kekayaan (vermosgensrecht)
c. Hak atas kebebasan
d. Hak atas kehormatan dan nama baik

2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.
Yang dimaksudkan dengan kewajiban hukum disini adalah bahwa suatu kewajiban yang diberikan oleh hukum terhadap seseorang, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
Tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala tindakan melanggar kesusilaan tersebut telah terjadi kerugian bagi pihak lain maka pihak yang menderita kerugian tersebut dapat meminta ganti kerugian berdasarkan atas perbutan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata).

4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.
Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik ini atau yang disebut dengan istilah zorgvuldigheid juga dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Jadi, jika seseorang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, tidak secara melanggar pasal-pasal dari hukum yang tertulis mungkin masih dapat dijerat dengan perbuatan melawan hukum, karena tindakannya tersebut bertentangan dengan prinsip kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat. Keharusan dalam pergaulan masyarakat tersebut tentunya tidak tertulis, tetapi diakui oleh masyarakat yang bersangkutan.

Menurut pasal 1365 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan seseorang yang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang lain.

Dalam ilmu hukum dikenal ada tiga kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan dan kelalaian)
3. Perbuatan Hukum karena kelalaian.

B. Unsur – Unsur Perbuatan Melawan Hukum 
Sesuai dengan ketentuan 1365 KUHPerdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Adanya suatu perbuatan.
2. Perbuatan tersebut melawan hukum.
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku.
4. Adanya kerugian bagi korban.
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Berikut ini penjelasan dari masing-masing unsur tersebut adalah sebagai berikut:

1. Adanya suatu perbuatan.

Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh perbuatan si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan disini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (secara aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu padalah ia berkewajiban untuk membantunya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari kontrak). Karena itu terhadap perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan” sebagai mana yang terdapat dalam kontrak.

2. Perbuatan tersebut melawan hukum.

Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum itu diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai beriku:
a.  Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku
b.  Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau
c.  Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
d.  Perbuatan yang betentangan dengan kesusilaan (goedezeden) atau
e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.

3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku.

Karena Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya unsur kesalahan (sechuld) dalam suatu perbuatan melawan hhukum maka perlu diketahui bagaimana cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Ada unsur kesengajaan, atau
  2. Ada unsur kelalaian
  3. Tidak ada alasan pembenar atau pemaaf seperti keadaan overmahct, membela diri, tidak waras dan lain-lain.

4. Adanya kerugian bagi korban.

Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materiil maka kerugian karena melawan hukum di samping kerugian materiil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immateriil, yang juga akan dinilai dengan uang.

5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.

Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dan kerugian yang ditumbulkan juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum.
Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanya merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya.

C. Dasar Hukum Beserta Isi Pasalnya

a. Pasal 1365 KUHPerdata
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

b. Pasal 1366 KUHPerdata
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

c. Pasal 1367 KUHPerdata
“Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.
Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal terhadap mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali.

Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.

Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada dibawah pengawasan mereka.

Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orang-orang tua, wali-wali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab itu.”

D. Macam – macam bentuk Perbuatan Melawan Hukum
  1. Nofeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum.
  2. Misfeasance, yakni perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang mempunyai hak untuk melakukannya.
  3. Malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan padahal pelakunya tidak berhak untuk melakukannya.


Referensi:
1. Muchsin, H. Ikhtisar Ilmu Hukum. Jakarta. BP IBLAM. 2006
2. KUHPerdata

OMBUDSMAN

Konon Ombudsman adalah kata Swedia yang berarti wasit. Ombudsman sebagai institusi resmi memang berasal dari sana. Sejak tahun 1809 Undang-Undang Dasar Swedia mengenal lembaga Ombudsman, yang diangkat oleh DPR. Ombudsman adalah fungsionaris yang menjamin perlindungan hak-hak para warga negara, disamping perlindungan yang sudah diberikan melalui jalur hukum yang resmi.
Betapapun hebatnya sistem hukum yang dimiliki suatu negara, tidak semua masalah bisa diselesaikan melalui jalur hukum dan menuntut dipengadilan tidak selalu merupakan jalan yang tepat. Ombudsman adalah upaya untuk mencari jalan keluar dari kesulitan – keulitan semacam itu.
Seorang Ombudsman bekerja secara independen terhadap pemerintah atau DPR. Ia mempunyai kuasa luas dalam mengadakan pemeriksaan. Antara lain, ia berhak melihat dokumen - domkumen instansi pemerintah. Tentu saja ia terikat dengan kewajiban kerahasisaan.
Ombudsman sendiri tak berkuasa mengambil keputusan. Ia hanya dapat memberikan advice kepada instantsi negara yang relevan tentang cara menyelesaikan suatu masalah. Kunci kesuksesan Ombudsman adalah posisinya yang tidak memihak. Pendapatnya dinilai Objektif, sehingga mudah diberi kepercayaan oleh para warga negara maupun instansi negara.


Sumber : Buku Perspektif Etika, Karangan K. Bertens, Penerbit Kanisius, 2005.

PEREMPUAN SEBAGAI KAUM YANG TERMARJINALKAN

Oleh: Feri Hyang Daika

Berbicara tentang perempuan mungkin tidak akan pernah ada habisnya, mulai dari dari berbagai hal, baik itu sterotipe yang menyatakan bahwa sifat perempuan itu lemah lembut dan pemarjinalan terhadap kaum perempuan bahkan hingga implementasi perlindungan HAM terhadap perempuan yang masih sangat rendah sekali menjadi pokok bahasan tersendiri yang sangat menarik untuk dibahas . Dalam konteks kehidupan nyata dimasa kini, berbagai persoalan pasti tak akan pernah luput menghantui kita, begitu pula dengan kaum perempuan.
Perempuan pada saat ini ternyata masih terus mengalami dikotomi. Yaitu apakah dirinya menjadi objek ataukah justru menjadi subjek baik itu dalam pembangunan maupun dalam bidang lainnya seperti ekonomi. Bahkan dalam porsi rumah tangga sekali pun ternyata eksistensi kaum perempuan juga masih sangat terpinggirkan. Padahal, kemajuan dan eksistensi suatu bangsa dikaitkan dengan bagaimana peran aktif semua lapisan masyarakat, termasuk didalamnya adalah kaum perempuan.
Sesuatu yang sangat ironis memang dimana dalam kemajuan dalam berbagai bidang dan ilmu pengetahuan serta hidup dijaman yang sudah semodern ini, ketidakadilan dan pemarjinalan terhadap suatu kaum, khususnya kaum perempuan masih saja terus terjadi.
Produk-produk hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap kaum perempuan pun ternyata masih lemah. "Secara jujur saya akui, sudah banyak perundang-undangan yang memberikan perlindungan HAM terhadap perempuan. Namun dalam prakteknya, perlindungan tersebut hanya berlaku dalam tulisan," kata Ketua Subkomisi Hak Sipil dan Hak Politik Komnas HAM, Sulistyowati Sugondho dalam seminar "Strategi Menciptakan Kebijakan Daerah yang Tidak Diskriminatif" di Jakarta beberapa waktu lalu. Ia mencontohkan, dalam perundang-undangan yang mengatur hak politik, perempuan diatur untuk mendapat jatah sebanyak 30 persen dari bakal calon (Balon) anggota legislatif. Namun, dalam tataran praktis Balon perempuan kerap ditempatkan di bagian "buntut" atau bukan "nomor jadi".
Kasus ini adalah hanya salah satu bentuk ketidakadilan dan pemarjinalan terhadap kaum perempuan. Pada contoh-contoh lain, banyak kasus yang secara eksplisit menempatan perempuan sebagai golongan kelas “sampah”. Mengutip slogan “perempuanku adalah sampahku” yang dikemukakan oleh Ibu Harini Bambang Wahono yang menyebut dirinya sebagai praktisi lingkungan, jelas bahwa terdapat suatu anggapan yang sangat mendeskriditkan kaum perempuan.
Dewasa ini pergerakan kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan jender mungkin sedikit banyak sudah terwakili melalui berbagai kelompok atau golongan yang menyatakan diri sebagai “pejuang kesetaraan jender” yang banyak bermunculan di berbagai negara di belahan bumi ini. Namun sebuah pertanyaan kemudian muncul, apakah dengan adanya kelompok-kelompok feminisme yang dilatarbelakangi oleh berbagai ideologi dan faham-faham yang mungkin saja berdeda satu sama lainnya bisa menjamin bahwa akan adanya kesetaraan jender seutuhnya???
Menurut hemat saya, belum tentu. Belum tentu kaum pria secara umum mau memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada kaum perempuan untuk menyetarakan diri sehingga bisa sejajar dengan kaum pria dan menurut saya, selama hal itu tidak terjadi, dimana kaum pria “mau” memberikan ruang dan waktu yang sebebas-bebasnya kepada kaum perempuan untuk benar-benar bisa berdiri sejajar dengan kaum pria, maka hal itu akan mustahil terjadi dan kaum perempaun niscaya akan selalu menjadi kaum yang terpinggirkan dimanapun dan dalam bidang apapun.
Seorang tokoh feminisme yang cukup terkenal dengan mengatakan “perkawinan adalah neraka bagi perempuan”, Jessie Bernard, menurut saya hal itu terlalu ekstrim atau mungkin hal itu merupakan suatu bentuk keputus-asaan kaum perempuan terhadap realita yang terjadi dimana perempuan selalu menjadi sub-ordinated dalam berbagai bidang. Cara yang mungkin sedikit banyak bisa mengatasi agar hal-hal yang tidak merendahkan martabat manusia khususnya perempuan menjadi sangat jatuh adalah dengan menumbuhkan kesadaran tehadap seluruh individu dimanapun untuk bisa “menghargai”perbedaan, keberadaan dan eksistensi serta peran serta orang lain dalam kehidupan sehari-hari, terlepas itu dia adalah perempaun, laki-laki atau orang miskin sekalipun dimana kita sendiri tau bahwa manusia itu adalah zoon politicon atau mahkluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya.

POSISI WANITA DALAM KANCAH POLITIK MENURUT UNDANG-UNDANG 39 TAHUN 1999 tentang HAM

Oleh: Feri Hyang Daika

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini meruapakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstusional maupun non konstitusional. Disamping itu juga politik dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, antara lain:
  1. Politik adalah usaha warga negara utk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik aristoteles).
  2. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelengaraan pemerintahan dan negara.
  3. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
  4. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.


Dalam konteks memahami politik perlu dipahamai beberapa kunci, antara lain kekuasaan politik, leigitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang parpol.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 mengatur hak wanita dalam kancah politik, baik itu dipilih maupun memilih. Dalam Pasal 46 UU No.39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa wanita dijamin keterwakilannya dalam anggota badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun dalam pasal tersebut banyak kelemahannya, yaitu keterwakilan wanita harus sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Yang menjadi pertanyaan disini adalah:

  1. Persyaratan tersebut ditentukan oleh siapa?
  2. Jika persyaratan yang ditentukan tersebut bertentangan dengan HAM khususnya hak wanita, apakah UU No 39 Tahun 1999 masih menjamin hak wanita melaksanakan perannya, baik untuk dipilih maupun memilih?
  3. Mengapa tidak ada sanksi yang melekat apabila Undang-Undang ini dilanggar?

Selain itu dalam Pasal 49 ayat (1) dijelaskan bahwa wanita berhak memilih, dipilih,dan diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa Undang-Undang tersebut tidak berjalan efektif karena banyak wanita yang mengajukan diri sebagai pemimpin malahan di persulit oleh birokrasi yang ada. Ini salah satu bentuk pendiskriminasian terhadap wanita. Yang mana hak wanita selalu dimarginalkan oleh penguasa.

Wanita selalu dianggap di bawah laki-laki atau budaya patriarkal. Bukan hanya dalam dunia politik saja wanita dianggap tidak mampu untuk memimpin, namun di bidanhg pekerjaan yang lain juga wanita selalu dianggap tidak mampu untuk memimpin. Sebagai contoh dapat dilihat dalam Pemilu Legislatif baru-baru ini, hanya berapa persen wakil wanita yang berhasil masuk Senayan. Apalagi Pemilu tahun ini tidak memakai kuota 30% , tetapi memakai sistem nomor urut yang diselang-seling sehingga wanita semakin sulit untuk masuk ke Senayan sebagai wakil dari wanita.

Dalam mengambil keputusan juga, suara atau pendapat wanita jarang di dengarkan. Sekarang bagaimana kita menyikapi permasalahan dalam gender yang sudah menjadi ideologi warga negara Indonesia. Kita harus bisa memahami bahwa wanita juga adalah warga negara Indonesia yang punya hak untuk berpendapat dan untuk maju sebagai pemimpin.

Euthanasia, Sebagai Sebuah Dilema

Oleh: Feri Hyang Daika

Permasalahan tentang euthanasia, aborsi dan hukuman mati adalah suatu permasalahan klasik yang secara universal masih saja menjadi perdebatan yang berkepanjangan hingga sekarang ini dibelahan bumi manapun yang ditinjau dari berbagai aspek atau sudut pandang.


 Euthanasia Sebagai Sebuah Dilema
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani: eu (baik) dan thanatos (kematian) sehingga dari asalnya berarti “kematian yang baik” atau “mati dengan baik”. Saat ini satu-satunya tempat dimana hukum secara eksplisit mengizinkan orang untuk mengakhiri hidupnya dengan euthanasia adalah negara bagian AS, Oregon. Melihat dari asal kata yang jauh dari anggapan banyak orang yang mengatakan bahwa euthanasia itu sama halnya dengan bunuh diri dengan cara suntik mati sehingga jelas-jelas secara hukum agama, moral dan etika adalah suatu bentuk pelanggaran.

Berbicara tentang hak asasi manusia, asasi berarti fundamental atau mendasar sehingga tak satu orangpun bisa mengambil daripadanya apa yang telah menjadi haknya secara asasi. Salah satunya adalah hak untuk hidup. Kita semua sepakat dan tak dapat disangkal lagi bahwa hak untuk untuk hidup adalah hak asasi atau hak dasar dari setiap manusia. Paling tidak begitulah gambaran secara garis besar mengenai isi salah satu pernyataan yang tertuang dalam declaration of human righs. Dari itu semua timbul pertanyaan, kalau hak hidup adalah merupakan hak asasi untuk hidup, lalu bagaimana hak untuk mati? Apakah ia bisa disebut dan dimasukkan dalam kategori sebagai hak asasi manusia?

Demi pengetahuan, hal ini penting sekali untuk dibahas dalam kerangka ilmiah agar tidak semakin mengaburkan segala hal pemahaman yang mungkin saja keliru tentang berbagai persoalan klasik yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

Euthananisa atau suntik mati di Indonesia sendiri jelas-jelas sangat dilarang, begitu pula dengan aborsi, terutama mengenai aborsi, hal tersebut secara tegas diatur dalam perundang-undangan yang bisa dilihat pada Pasal 341 sampai dengan 349 BAB XIX tentang Kejahatan Terhadap Nyawa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pindana Indonesia.

Kembali kepada permasalahan hak hidup sebagai hak asasi manusia dan apakah hak untuk mati bisa dikategorikan sebagai hak asasi, K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Persfektif Etika mengatakan bahwa para etikawan ternyata tidak sedikit juga yang mendukung diberlakukannya euthanasia, argumen yang paling banyak didengar adalah the rights to die. Jika seseorang menderita maka lebih baik ia mengakhiri hidupnya daripada ia harus menanggung derita yang tak berkesudahan. Di Indonesia, seruan akan legalisasi euthanasia belum terdengar lantang. Kemungkinan besar Menteri Negara urusan HAM kita belum pernah mendapat permintaan untuk menaruh perhatian kepada “hak untuk mati”. Tetapi tidak mungkin diragukan bahwa perawatan pasien yang tidak bisa disembuhkan merupakan suatu peristiwa medis yang maha penting. Jika pasientidak bisa disembuhkan maka, profesi medis tidak boleh lepas tangan. Perawatan yang palliative atau bersifat mengurangi rasa sakit yang sebaik mungkin harus tetap diupayakan agar pasien dapat meninggal dengan pantas tanpa penderitaan yang berselbihan.

Meskipun bisa mati dengan pantas atau wajar dengan tanpa penderitaan yang berlebihan, menurut saya tidaklah sama atau harus diasumsikan sama dengan apa yang diatur di negara bagian AS, Oregon sebagai satu-satunya tempat yang mengijinkan dimana seseorang dapat mengakhiri hidupnya dengan sekali suntikan. Euthanasia bukanlah jalan terakhir untuk menghadapi segalanya dan bukanlah satu-satunya cara yang paling efektif dan efisien untuk mengakhiri nyawa seseorang yang menderita secara tak berkesudahan. Paling tidak perwatan secara palitatif adalah satu cara dimana kita sebagai umat manusia memanusiakan manusia yang sedang menghadapi kesakitan yang berkepanjangan dan sebagai upaya dalam menjunjung peri kehidupan antar sesama manusia.

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM WARIS NASIONAL DENGAN HUKUM WARIS ISLAM

Oleh: Feri Hyang Daika

A. PERSAMAAN
1. Segala harta warisan akan berpindah dari tangan orang yang meninggalkan warisan kepada semua ahli warisnya.
2. Dalam hal biaya pemakaman mayat, tidak ada perbedaan antara hukum waris Islam dan Nasional, artinya sama yaitu bahwa harta warisan yang pertama harus dimanfaatkan untuk membayar biaya pemakaman mayat tersebut.
3. Subjek hukumnya sama yaitu antara si Pewaris dan ahli waris.
4. Unsur pewarisannya sama, secara individual memberi kebebasan kepada seseorang yang memiliki harta untuk membuat testament.
5. Yang berhak mewaris pada dasarnya adalah sama, yaitu keluarga sedarah dari si Pewaris.

B. PERBEDAAN
WARIS ISLAM WARIS NASIONAL
Bentuk harta warisan Pada dasarnya berpindah dari tangan yang meninggal dunia tehadap semua ahli waris berupa barang-barang peninggalan dalam keadaan bersih, artinya sudah dikurangi dengan pembayaran utang-utang dari orang yang meninggalkan warisan serta dengan pembayaran-pembayaran lain yang disebabkan oleh meninggalkanya orang yang meninggalkan warisan. Yang diwariskan kepada semua ahli waris itu tidak saja hanya masalah-masalah yang ada manfaatnya bagi mereka, akan tetapi utang-utang mereka yang meninggalkan warisan, dalam arti bahwa kewajiban membayar utang-utang itu pada kenyataannya berpindah juga kepada semua ahli warisnya.
Mewaris Hutang Dalam Kompilasi Hukum Islam buku II, bab I tentang ketentuan umum, dapat disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam memisahkan konsep antara harta peninggalan dan harta warisan. Yang dimaksud harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Mr.Ter Haar mengatakan bahwa hanya harta peninggalan yang tinggal tak terbagi-bagilah yang harus dipergunakan untuk membayar hutang-hutang si pewaris. Titik pangkal ini mengakibatkan perumusan kaedah hukum adat yakni hanya sisa harta peninggalan dapat diwaris. Sebaliknya KUHPerdata memandang selaku hakekat, bahwa yang diwaris oleh ahli waris itu tidaklah hanya hal-hal yang bermanfaat saja bagi mereka, melainkan juga hutang dari si pewaris.
Hakekat dalam KUHPerdata bahwa hutang-hutang si pewaris beralih pula kepada ahli waris juga menentukan bahwa para ahli waris dapat menghindarkan peralihan itu dengan jalan menerima atau menolak warisan atau menerima dengan syarat, yaitu menerima tetapim dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
Dengan demikian KUHPerdata mengenal 3 macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, yakni:
1. Ia dapat menerima harta warisan seluruhnya menurut hakekat tersebut dari KUHPerdata, termasuk seluruh hutang si pewaris.
2. Ia dapat menolak harta warisan dengan akibat bahwa ia sama sekali tidak tahu menahu tentang pengurusan harta warisan itu.
3. Ia dapat menerima harta warisan dengan syarat bahwa harus diperinci barang-barangnya dengan pengertian bahwa hutang-hutang hanya dapat ditagih sekedar harta warisan mencukupi untuk itu.
Banyaknya pembagian dari harta warisan Menurut hukum agama Islam terdapat dua golongan ahli waris, yaitu ke 1 para “asabat” yang dianggap dengan sendirinya sejak dahulu kala sebelum agama Islam menurut hukum di tanah Arab, merupakan ahli waris, dan ke 2; orang-orang yang oleh beberapa pasal dari Kitab Al-Qur’an ditambahkan selaku ahli waris pula (koranische erfgenamen) . Hukum BW mengenal 4 golongan ahli waris yang bergiliran hak atas harta warisan, dengan pengertian apabila golongan ke 1 tidak ada, maka golongan ke 2 lah yang memiliki ha, demikianlah selanjutnya.
Kelahiran Anak di Luar Pernikahan Oleh hukum Islam ditetapkan adanya tenggang waktu, yaitu tenggang yang sekurang-kurangnya mesti ada antara waktu nikah si istri dan kelahiran anak, dan lagi suatu tenggang, yang selama-lamanya harus ada antara putusnya pernikahan atau perkawinan dengan lahirnya si anak.
Tenggang waktu yang dimaksud yaitu sekurang-kurangnya antara nikah si ibu dan kelahiran si anak adalah 6 bulan, sedang tenggang yang selama-lamanya harus ada antara putusnya tali pernikahan dan kelahiran anak yaitu tenggang iddah, ialah 4 bulan dan 10 hari. Dalam BW yang mengatur mengenai hubungan hukum tentang warisan antara si ibu dan si anak di luar pernikahan, tercantum dalam Pasal 862 s.d 873 BW.
Antara anak dan ibu baru ada hubungan hukum apabila si ibu mengakui anak itu sebagai anaknya, dimana pengakuan itu mesti dilaksanakan dengan sistem tertentu, yaitu menurut Pasal 281 BW dalam akte kelahiran si anak dalam akte pernikahan (perkawinan) bapak dan ibu di depan Pegawai Catatan Sipil (ambtenar bij de Burgelijk stand), atau dengan akta otentik tersendiri (akte notaries) atau jadi ½ dan tidak ¼ dari bagian anak sah.
Cara Penghibahan Wasiat Dalam hukum islam tidak disebutkan tentang ketentuan cara yang khusus untuk membuat keinginan terakhir dari si peninggal warisan. Cuma ditetapkan bahwa ucapan tersebut harus jelas dan tegas serta dihadiri dan disaksikan oleh orang-orang yang sekaligus bertindak sebagai saksi akan kebenaran ucapan tersebut.
Bila keinginan terakhir ini ditulis dalam sepucuk surat, maka surat hibah wasiat tersebut dianggap sah bila isinya dibacakan secara lisan kepada ahli waris dan saksi-saksi. Menurut BW ada tiga macam cara membuat hibah wasiat, yaitu:
1. Testament rahasia (geheim)
2. Testament tak rahasia (openbaar)
3. Testament tertulis sendiri (olografis), yang biasanya bersifat rahasia ataupun tidak rahasia.
Dalam ketiga cara testament ini dibutuhkan campur tangan seorang notaris.

CSR sebagai sebuah Respon Sosial ataukah sebagai Kontribusi Sosial

Oleh Feri Hyang Daika

Berbicara mengenai perusahaan pada masa kini tentu tidak akan lepas dengan sebuah konsep modern yang disebut sebagai CSR atau Corporate Social Responsibility. CSR (corporate social responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan akhir-akhir ini menjadi sebuah isu yang menonjol dikalangan pebisnis nasional maupun mulitinasional. Program ini dimaksudkan sebagai upaya perusahaan untuk berperan serta dalam proses pembangunan berkelanjutan atau sustainable development yang didalamnya diharapkan akan terjadi keseimbangan antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya dimana perusahaan tersebut beroperasi. Masalah sosial dan lingkungan dianggap begitu sangat serius sehingga menyebabkan dorongan dunia internasional terhadap tanggung jawab sosial perusahaan begitu kuat yang pada akhirnya dimunculkan pada sebuah konsep global yang disebut dengan CSR.

Tak tanggung-tanggung, dua peraturan perundang-undangan RI secara ekplisit mewajibkan pelaksanaan CSR kepada perusahaan, UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dengan Pasal 15-nya yang menyebutkan bahwa setiap Penanaman Modal berkewajiban untuk (a) menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, (b) melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan dan UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dalam Pasal 74 (1) mengatakan bahwa “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”. Kata wajib yang tertuang dalam undang-undang ini jelas pasti diikuti dengan sanksi jika bunyi undang-undang tersebut tidak dilakukan. Bicara soal sanksi berarti bicara pula soal hukuman. Lalu bagaimanakah dengan pengawasan praktik pelaksanaan CSR itu sendiri oleh pemerintah?


Dalam dua peraturan perundangan tersebut tidak ditemukan pengaturan yang tegas tentang bagaimanakah bentuk pengawasan pelaksanaan CSR oleh pemerintah. Jika pengawasan oleh pemerintah terhadap pelaksanaan CSR lemah maka akan memunculkan keraguan terhadap konsep serta implementasi dari praktik CSR karena dengan begitu CSR dilaksanakan hanya sebagai formalitas saja, hanya memenuhi tuntutan atau bunyi undang-undang, bukan berdasarkan atas kesadaran perusahaan untuk benar-benar peduli pada lingkungan sosialnya yang dipandang sebagai sebuah bentuk tanggung jawab sosial. CSR harus benar-benar dipahami sebagai sebuah bentuk “kontribusi sosial” perusahaan terhadap lingkungan, bukan hanya sebatas “merespon” bunyi peraturan saja. 

Bicara tentang tanggung jawab sosial perusahaan dalam konteks CSR seperti yang tertulis di undang-undang, jelas bukanlah bicara perkara perbuatan yang secara sukarela dilakukan oleh perusahaan. Jika ditafsirkan sebagai perbuatan sukarela dari perusahaan, maka pelaksanaan CSR itu sendiri akan menjadi sangat tidak efektif karena pelaksanaannya yang diserahkan sepenuhnya kepada perusahaan tanpa ada pengawasan yang jelas dan “terserah” perusahaan karena konsepnya sukarela.

Apabila hanya berpegang pada konsep etika bisnis saja, dengan melihat kondisi real bahwa masih banyak perusahaan yang belum secara “sadar” menggarap CSR secara serius dan benar-benar ditujukan atau dimaksudkan sebagai kontribusi sosial perusahaan terhadap lingkungannya dan bukan hanya sebatas respon sosial perusahaan yang sifatnya karikatif dan sukarela, jelas bukan suatu jaminan bahwa dengan sendirinya konsep tanggung jawab sosial perusahaan akan dijalankan oleh perusahaan dengan sepenuh hati. 

Pada akhirnya bahwa praktik pelaksanaan CSR tetap harus membutuhkan pengawasan yang tegas dari pemangku kebijakan sebab bicara tentang tanggung jawab berarti bicara tentang kewajiban, kewajiban itu sendiri jelas tidak bisa dipadankan dengan kegiatan sukarela dalam konteks CSR yang karikatif, sehingga dengan demikian diharapkan CSR benar-benar dilaksanakan bukan hanya sebagai tuntutan bisnis saja dengan adanya etika bisnis bagi lingkungan sosialnya, tetapi ia juga harus dipandang dan dilaksanakan sebagai sebuah kewajiban atas pemenuhan regulasi yang ada.

sumber gambar: www. google.com