Masih Ampuhkah Pancasila Dalam Menjaga Kesatuan Bangsa?


Oleh: Feri Hyang Daika

Dewasa ini, gaung-gaung dari semarak kemerdekaan telah diartikan secara luas oleh berbagai kalangan di negeri seribu pulau ini, Indonesia. Munculnya berbagai kelompok yang oleh pemerintah disebut sebagai gerakan separatis yang merongrong integrasi bangsa atau kesatuan bangsa menjadi sebuah perhatian khusus bagi kaum nasionalis dan pemerintah, terutama bagi kalangan yang memegang teguh prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang bersumber dari Pancasila, yang dipandang sebagai “alat” pemersatu bangsa ditengah pluralis-ragam macam suku dan budaya yang ada di Indonesia.

Munculnya kelompok-kelompok perjuangan kemerdekaan itu kemudian membuat esensi kesaktian Pancasila sebagai pemersatu bangsa patut untuk dipertanyakan. Masih ampuhkah Pancasila dalam menjaga kesatuan bangsa ini kedepannya?

Sebuah pertanyaan yang jawabannya tentu tidak bisa dipastikan saat ini sebab menurut buku yang berjudul “Tahun 2015 Indonesia Pecah” karangan Djuyoto Suntani, mengindikasikan bahwa pada tahun 2015 yang disebut Indonesia hanyalah Jamali atau Jawa, Madura dan Bali. Lalu sisanya? Daerah yang lain diramalkan akan terpecah belah menjadi lebih kurang 15 negara-negara yang berdiri sendiri.

Pecahnya Indonesia ini diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya yaitu:
1. Kepentingan primordial (kesamaan etnis),
2. Ikatan ekonomis (kepentingan bisnis),
3. Ikatan kultur (kesamaan budaya),
4. Ikatan ideologis (kepentingan politik), dan
5. Ikatan religius (membangun negara berdasar agama).

Selain itu, isu politik nasional juga turut menjadi salah satu faktor karena tarik ulur kepentingan para politisi di negeri ini telah menggiring bangsa kearah kehancuran.

Sila Persatuan Indonesia telah benar-benar “diperkosa” oleh tarik ulur kepentingan-kepentingan kelompok yang merasa kecewa terhadap kinerja pemerintah pusat yang dinilai gagal dalam memenuhi amanat UUD 1945 untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Alih-alih mensejahterakan rakyat Indonesia, pemerintah dinilai kurang memperhatikan keberlangsungan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Program pemerintah yang mungkin maksudnya adalah baik kemudian diterjemahkan menjadi sebuah propaganda politis, yang kemudian menjatuhkan citra positif pemerintah. Sebut saja misalnya program konversi minyak tanah ke gas elpiji telah menyebabkan keresahan di kalangan masyarakat luas. Kita semua tahu dan telah sering menyaksikan di berbagai tayangan televisi, hampir setiap hari tabung gas elpiji bak sebuah bom yang selalu memakan korban nyawa dan harta masyarakat Indoensia.

Selain itu, keterbelakangan pembangunan ekonomi dan pendidikan diluar pulau Jawa telah menyebabkan ketimpangan di berbagai daerah, sebut saja Kalimantan dan Papua yang sampai hari ini masih bergelut dengan masalah-masalah klasik yang terkait dengan pembangunan ekonomi dan pendidikan. Padahal, dalam pemetaan sumber daya nasional, di dua daerah tersebut terdapat berbagai macam sumber daya alam yang menjanjikan dalam menyumbang peningkatan pembiayaan APBN.

Tetapi ironis, masalah klasik lainnya yang berupa kemiskinan masih melekat diantara warga negara yang berusaha setia untuk patuh terhadap Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Bayangkan, apabila Sumatera, Kalimantan dan Papua tak lagi menjadi bagian daripada Indonesia bagaimanakah nasib kelangsungan bangsa ini dalam membiayai belanja negaranya??

Hal-hal yang seperti inilah kemudian membuat daerah merasa “cemburu” atas ketidakadilan pemerintah pusat dalam membangun dan mensejahterakan bangsa ini, pembangunan terkesan terlalu sentralistik, yaitu dipulau Jawa saja. Akibatnya muncullah kelompok-kelompok perjuangan yang mencoba berusaha untuk melepaskan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri.
Untuk meredam aksi disintegrasi bangsa atau perpecahan bangsa dan menjaga agar Pancasila sebagai sumber kesatuan bangsa tetap dijunjung tinggi, pemerintah pusat kemudian mengeluarkan peraturan yang dinilai oleh beberapa ahli malah semakin mematangkan aksi disintegrasi bangsa itu sendiri.

Peraturan tersebut tak lain adalah Otonomi Daerah (Otonomi Khusus bagi daerah tertentu) yang intinya memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan kebutuhan atau keperluan masing-masing daerah. Tetapi kemudian banyak kalangan menilai bahwa otonomi daerah ini diibaratkan seperti mobil mainan remot konrol yang mobilnya (daerah) seolah dibiarkan untuk “bebas” melakukan apapun sejauh tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan pemerintah lainnya, namun kontrol atau kendalinya tetap ada pada pemerintah pusat, sebuah otonomi yang setengah hati yang kemudian mengarahkan kepada aksi provokasi untuk melakukan pemisahan diri dari Republik Indonesia-yang juga berarti bukan hanya telah “memperkosa” sila Persatuan Indonesia tetapi barang kali juga dapat dikatakan telah “membunuh” sila tersebut manakala disintegrasi bangsa benar-benar terjadi. Pancasila yang hanya tinggal nama.