Ekaprasetia Pancakarsa Sebagai Penuntun Sikap dan Tingkah Laku Manusia Indonesia


Feri Hyang Daika

Pancasila yang telah diterima  dan ditetapkan sebagai dasar negara sudah seharusnya menjadi jiwa seluruh rakyat Indonesia, sebagai kepribadian dan pandangan hidup bangsa. Untuk memudahkan pengamalan Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia, maka dibentuklah yang namanya Ekaprasetia Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai pedoman atau penuntun bagi sikap dan tingkah laku setiap manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ekaprasetia Pancakarsa berasal dari bahasa Sanskerta. Secara harfiah “eka” berarti satu atau tunggal, “prasetia” berarti janji atau tekad, “panca” berarti lima dan “karsa” berarti kehendak yang kuat. Dengan demikian, Ekaprasetia Pancakarsa berarti tekad yang tunggal untuk melaksanakan lima kehendak. Lima kehendak itu, tidak lain adalah kelima sila dari Pancasila.

Ekaprasetia Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) memberi petunjuk nyata dan jelas mengenai pengamalan kelima sila dari Pancasila sebagai berikut:

Ketuhanan Yang Maha Esa
a.    Manusia Indonesia percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan Agama dan Kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b.    Hormat-menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan para penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
c.    Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
d.    Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

Kemanusiaan yang adil dan beradab
a.    Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban asasi antara sesama manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai Mahluk Tuhan Yang Maha Esa.
b.    Saling mencitai sesama manusia.
c.    Mengembangkan sikap tenggang rasa.
d.    Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e.    Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f.     Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

Persatuan Indonesia
a.    Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
b.    Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
c.    Cinta tanah air dan bangsa.
d.    Menjaga kesatuan bangsa Indonesia yang diuraikan kedalam semboyan Bhineka Tunggal Ika atau berbeda-beda tetapi tetap satu.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
a.    Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
b.    Mengutamakan musyawarah dalam mengambil putusan untuk kepentingan  bersama.
c.    Musyawarah untuk mecapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
d.    Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil putusan musyawarah.
e.    Putusan yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
a.    Bersikap adil.
b.    Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
c.    Menghormati hak-hak orang lain.
d.    Suka member pertolongan kepada orang lain.
e.    Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
f.     Menghargai hasil karya orang lain.

Melalui petunjuk Ekaprasetia Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) seperti yang tersebut diatas, kita masing-masing sebagai manusia Indonesia harus berusaha agar nilai-nilai, norma-norma, sikap dan tingkah laku yang dijabarkan dari kelima sila Pancasila itu benar-benar menjadi bagian yang utuh dan tidak terpisahkan dari seluruh cara hidup kita.

Dengan demikian, maka tuntunan yang diberikan oleh Ekaprasetia Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) itu menyatu dengan kepribadian setiap manusia Indonesia, oleh karenanya dapat mengatur dan memberikan arah tingkah laku bagi dirinya.

Ajaran-ajaran kemoralan seperti yang dijelaskan di atas, seharusnya diberikan kepada seluruh generasi bangsa Indonesia, baik itu melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah, di dalam keluarga, di lingkungan, melalui jalur media massa, jalur organisasi sosial politik ataupun organisasi sosial kemasyarakatan agar tercipta manusia Indonesia yang memiliki kepribadian sesuai dengan apa yang diharapkan dalam sila-sila atau kemoralan-kemoralan yang tertuang dalam Pancasila, sehingga dengan demikian dapat menjadi penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah laku setiap manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sumber gambar: www.google.com
Referensi: Bahan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, BP-7 PUSAT, 1993.

Korupsi Dalam Perspektif Etika Sosial dan Politik


Feri Hyang Daika

Sudah sejak lama masalah korupsi dianggap sebagai persoalan berat dan mendesak yang harus diatasi dan menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia kedepannya. Melihat realita banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, seolah-olah menjadikan masalah korupsi sebagai sesuatu hal yang sepertinya sudah “biasa” terjadi, hampir bisa dipastikan setiap hari media massa baik cetak maupun elektronik menyajikan berbagai ragam berita tentang kasus korupsi di negeri ini. Tak dapat dipastikan, apakah korupsi memang sudah “membudaya” di kalangan masyarakat Indonesia sehingga dengan mudah dapat ditemukan di berbagai lini kehidupan di masyarakat ataukah memang kinerja lembaga yang menangani masalah korupsi di negeri ini mulai menunjukkan taji-nya dalam menguak serta memberantas berbagai masalah korupsi yang terjadi.
Bicara soal korupsi, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa korupsi terkait dengan kompleksitas masalah, antara lain adalah masalah moral. Lebih lanjut, K. Bertens mengatakan bahwa masalah korupsi dianggap sebagai suatu masalah etika. Mau tidak mau perlu diakui, korupsi menyangkut moral bangsa dan moral pribadi dari oknum yang terlibat dalam praktek tersebut. Dalam etika selalu berperan sekurang-kurangnya dua faktor berikut: di satu pihak ada norma-norma dan nilai-nilai moral yang menurut kodratnya bersifat umum dan di lain pihak, ada situasi khusus yang menurut kodratnya bersifat spesifik. Perilaku etis yang konkret merupakan penggabungan dari dua komponen tersebut. Demikian juga dalam konteks korupsi. Kejujuran, menghormati milik orang lain, tidak mencuri dan sebagainya merupakan nilai penting dalam konteks ini. Tetapi para koruptor akan membela diri dengan menunjuk kepada situasi spesifik mereka, misalnya mereka mengatakan bahwa gaji pegawai negeri tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Atau mereka hanya akan menunjuk kepada “kebudayaan” yang ada disekitarnya, sambil menegaskan: “semua orang melakukan hal itu”. Mereka mencari suatu dalih dalam situasi tertentu.
Dalam perspektif kehidupan profesi dikaitkan dengan kegiatan korupsi, etika profesi atau kode etik profesi yang dianggap sebagai pedoman suatu moralitas yang apabila dipatuhi atau ditaati sepenuhnya oleh seorang profesionalis, maka setidaknya ada sebuah harapan bahwa dengan demikian kode etik profesi sangat berperan besar dalam hal mereduksi kegiatan korupsi yang dilakukan oleh kalangan profesionalis, sebab profesionalisme dan etika profesi merupakan suatu kesatuan yang manunggal, yang dalam hal ini etika profesi berperan sebagai alat pengatur karena etika profesi mengontrol perilaku anggotanya agar tetap bekerja menurut etika yang disepakatinya.
Masalahnya bagaimana dengan korupsi yang dilakukan oleh para politikus jika dikaitkan dengan etika, khususnya etika profesi? Politikus bukanlah profesi yang jelas-jelas tidak meiliki kode etik profesi. Di luar konteks peraturan perundangan, hanya moral si politikus lah yang menjadi rambu-rambu atas keingingannya untuk melakukan perbuatan korupsi. Namun apalah artinya moral masa kini, toh yang menilai baik buruk suatu moral adalah orang lain yang dalam hal ini dilakukan oleh masyarakat umum. Penilaian dan pemberian label sebagai seorang koruptor bukanlah menjadi jaminan tidak akan terjadi korupsi lagi di negeri ini, sepanjang ada niat seseorang (pejabat) untuk memperkaya diri sendiri dengan cara “mencuri” uang rakyat yang jelas-jelas bertentangan dengan norma hukum dan moral serta etika masih terus tertanam didalam diri si pelaku korupsi, maka praktek korupsi pasti masih akan terus berlanjut hingga kapanpun.