Indonesia Yang Tergadaikan

Feri Hyang Daika

Karakteristik gagasan pembangunan pada masa orde baru yang berjalan hampir mirip dengan pemerintahan masa colonial yang otokratis dan kasar, serta stabilitas politik dijalankan dengan model yang kental dengan nuansa represi telah berhasil “mendisiplinkan” rakyat dan memberikan perlindungan politik bagi kroni-kroni birokrat pada masa itu.

Tekanan politis yang kuat dari kelompok pembaharuan yang menyebut diri sebagai kaum reformis dan terpaan badai krisis moneter akhirnya membuat peta politik dan kekuasaan berubah. Rezim Orde Baru yang berkuasa lebih kurang tiga dasawarsa itu goyah dan rontok pada pertengahan tahun 1998.

Desakan akan pembaharuan sistem politik, sosial, hukum dan ekonomi mengalir deras ke rumah rakyat, mana lagi kalau bukan gedung DPR-RI.

Setidaknya sampai hari ini telah terjadi empat kali amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945, sebagai buah dari usaha perbaikan system hukum dan politik di Indonesia.

Namun demikian, periode reformasi yang dimulai pada khir 1998 juga memunculkan segudang persoalan, salah satunya adalah masalah hukum. Seperti kecenderungan pemerintah menggunakan ideologi politik hukum yang pro terhadap pasar bebas.

Sejumlah peraturan perundang-undangan yang lahir justru menjadi tiang-tiang utama bagi privatisasi cabang-cabang produksi yang penting-yang didalam UUD 1945 sendiri disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan mengusai hajat hidup orang banyak dikuasai sepenuhnya dan dikelola oleh negara demi kemakmuran rakyat.

Sebuah fakta penting tentang privatisasi ini telah menjadi bahaya utama bagi kelangsungan hidup bernegara masyarakat Indonesia kedepannya. Bukan saja telah mengingkari isi dari UUD 1945 namun juga telah mengarahkan kebijakan pembangunan yang tertuju pada liberalisasi ekonomi.

Peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut:

1. UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang memperbolehkan privatisasi cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.

2. UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

3. UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang yang memperbolehkan penambangan terbuka di Kawasan Hutan Lindung.

4. UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yang pada Bab VIII perihal Restrukturisasi dan Privatisasi.

Yang paling vital diantara kesemuaannya adalah Privatisasi atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Apa jadinya Indonesia 10 atau 15 tahun kedepan kalau semua cabang-cabang Badan Usaha Milik Negara tersebut telah di privatisasi oleh investor asing?? Yang jelas, negara ini telah benar-benar masuk dalam daftar “pegadaian’ internasional yang siapa punya uang banyak dapat menguasai sesuatu hal yang sifatnya sangat amat penting bagi negara Indonesia. Contoh langsung adalah penguasaan atas jasa telekomunikasi Indonesia yang kini telah berpindah tangan kepada investor negara tetangga.

Suatu hal yang benar-benar menyedihkan bagi keberlangsung negara ini.


Sumber hambar: www.google.com
Referensi: Buku Panduan Hukum di Indonesia, 2009.

Hukuman Mati Sebagai Pelanggaran HAM Berat

Oleh: Feri Hyang Daika

Di bidang hukum dan keadilan di Indoneisa beberapa tahun belakangan ini membawa persoalan hukuman mati menjadi sebuah perdebatan. Ada sekalangan pihak yang sangat mendukung dilakukannya hukuman mati terhadap “penjahat” yang istilah untuk kejahatan yang dilakukannya itu berasal dari konstruksi masyarakat, begitulah yang tersirat dalam ajaran teori kriminologi kritis.

Ada pula yang berpendapat bahwa hukuman mati tidaklah dipandang sebagai sebuah bentuk hukuman yang paling efektif dan efisien dalam rangka untuk ikut menanggulangi kriminilitas dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya yang tejadi didalam masyarakat. Hukuman mati tidak lagi dipandang sebagai ancaman yang dapat atau bisa untuk mencegah orang untuk melakukan kejahatan terutama terhadap nyawa orang lain.

Terhadap pendapat yang terakhir ini saya setuju sekali. Negara yang mewakili pihak yang dirugikan dan kemudian mengatur, menuntut serta punya cukup andil intervensi dalam hal putusan hukuman mati terutama apabila menyangkut permasalahan nyawa orang banyak ternyata menurut saya bisa dipandang kurang bijaksana dalam menentukan sikap.
Sudah banyak korban dari peraturan yang mengatur tentang hukuman mati ini namun apa yang terjadi?

Negara kita masih saja tetap tidak aman bahkan kejahatan yang terjadi terhadap jiwa atau nyawa orang lain (pembunuhan) masih saja tetap banyak terjadi dan hampir-hampir menghiasi setiap pemberitaan media pertelevisian dalam acara-acara yang menyajikan laporan kejahatan atau kriminalitas. Sering kita dengar bahwa pembunuhan terjadi disana-sini. Lalu apakah gunanya aturan serta ancaman hukuman mati terhadap pelanggar kejahatan tersebut? Bak singa ompong tak tak punya apa-apa.

Negara membunuh penjahat atau pembunuh dengan dalil hukuman kepadanya atas perbuatannya yang telah menghilangkan nyawa orang lain dan telah melanggar hak asasi manusia untuk hidup yang telah dijamin negara lewat berbagai peratuan perundang-undangan bahkan dalam Pancasila dan UUD 1945 sendiri.

Seorang yang dikatakan penjahat melakukan pembunuhan kemudian oleh negara dijatuhi hukuman mati (dibunuh) karena telah mengambil nyawa orang lain dan dengan kata lain telah melanggar hak asasi manusia untuk hidup. Apa bedanya ia dengan penjahat tersebut? Negara tidaklah lebih seperti penjahat tersebut. Ia juga sama saja dengan pembunuh tersebut yang mengambil nyawa atau melanggar hak asasi seseorang untuk hidup dengan alasan ia telah melakukan hal yang sama pula. Dengan perkataan lain, negara juga dapat disebut sebagai pembunuh.

Bagaimana mungkin sebagai suatu negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia tetapi ia sendiri tak melakukannya dengan sepenuh hati.

Penerapan hukuman mati menurut saya sudah layak untuk ditinggalkan, tidak ada jaminan bahwa dengan kita terus menerapkan hukuman mati kejahatan akan lebih kecil bahkan yang terjadi adalah bahwa meskipun kita menerapkan hukuman mati namun kejahatan terhadap nyawa sendiri masih saja banyak terjadi dan hal ini tidak sesuai dengan semboyan negara kita untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Aborsi Sebagai Alternatif ataukah Sebuah Pelanggaran Norma?

Oleh: Feri Hyang Daika

Permasalahan klasik lainnya yang hingga kini masih menjadi perdebatan yang berkepanjangan hampir disetiap sudut belahan bumi ini tak lain adalah masalah aborsi. Abortus provocatus atau pengguguran kandungan menjadi pro dan kontra ketika norma agama mulai diterapkan. Ada banyak hal yang cukup manarik untuk dibahas dan didiskusikan namun dalam pembahasan secara singkat mengenai sikap saya terhadap masalah ini, saya memiliki pandangan yang mungkin tak akan mudah untuk diterima bagi pihak yang pro aborsi, begitu pula dengan pihak yang kontra terhadap masalah aborsi. Saya lebih memilih jalan tengah untuk ikut berupaya menyudahi persoalan yang menjadi perdebatan ini.

Aborsi boleh-boleh saja dilakukan sejauh hal itu harus dilakukan jika membahayakan salah satu pihak baik sang ibu maupun sang anak bilamana sebuah pilihan harus diambil. Demi keselamatan dan kehidupan salah satunya, “dosa pembunuhan” yang banyak dituduhkan orang-orang atas aborsi mau tidak mau menjadi sebuah jalan terbaik.

Bagamana mungkin demi menghindari tuduhan dan ancaman hukuman terhadap pembunuhan, seorang ibu dipaksa harus melahirkan anak yang pada akhirnya membawa akibat kematian kepadanya atau memaksa seorang bayi lahir yang pada akhirnya mengakibatkan kematian terhadap dirinya sendiri?

Memang benar bahwa agama tidak selalu mempunyai pandangan yang sama tentang saat dimulainya kehidupan insani namun mempunyai pandangan yang sama tentang kehidupan.
Aborsi harus bisa dipandang sebagai jalan terakhir atau alternatif demi penyelamatan jiwa seseorang (ibu atau kah si anak) bukan sebagai sebuah bentuk pelanggaran atas sesuatu yang dinormakan bukan pula sebagai sebuah pilihan atas kemaluan yang ditanggung atau diderita akibat hamil diluar pernikahan, bukan pula pilihan atas kondisi ekonomi yang sulit. Dan pada akhirnya dapat ditarik garis lurus bahwa aborsi boleh dilakukan sejauh pelaksanaan aborsi itu sendiri bertujuan untuk melindungi nyawa dari  pelaku aborsi ataukah nyawa dari janin yang harus dilahirkan.

Profesionalisme Jurnalis Dalam Pemberitaan di Media Massa

Feri Hyang Daika

Perkembangan media massa-masa kini telah menunjukkan suatu peningkatan yang sangat signifikan setelah melewati periode “masa gelapnya” media massa pada saat orde baru. Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan pers telah benar-benar dijunjung tinggi dan diakui oleh pemerintah. Tidak seperti masa sebelumnya dimana perkembangan media massa benar-benar dikendalikan dan di kontrol sepenuhnya oleh pemerintah melalui kementerian penerangan yang intinya adalah untuk membatasi penyampaian berita maupun isi berita, terutama yang berkaitan dengan kebobrokan pemerintah Indonesia pada saat itu yang salah satunya adalah maraknya aksi korupsi dikalangan penguasa. Media massa “dilarang” memberitakan aib pemerintah, begitulah salah satu bentuk intervensi pemerintah terhadap independensi media massa dalam menyampaikan berita kala itu.
Tentu saja hal ini bukan saja telah “menyunat” muatan pemberitaan yang sifatnya informatif dan edukatif kepada masyarakat, tetapi juga telah mengintimidasi para jurnalis dengan tekanan-tekanan yang luar biasa dari pihak pemerintah.

Lepas dari masa suram kehidupan jurnalis dan media massa yang diawali dengan runtuhnya rezim orde baru, membuat sebuah harapan besar akan cita-cita kebebasan pers dan independensi media massa akhirnya benar-benar tercapai seperti saat ini.

Euforia akan kebebasan pers telah menjelma menjadi sebuah mimpi buruk bagi pemerintah sebab media masa kini bebas dan leluasa untuk mengkritik pemerintah dan menyampaikan pemberitaan buruk dari instansi pemerintah yang dinilai korup dan sebagainya. Juga saat ini kita dengan mudah dapat mengakses pemberitaan dari dunia internasional sekalipun tanpa harus ada istilah sensor dari pemerintah.

Namun pekembangan media massa yang demikian tentu haruslah didukung oleh sikap profesionalisme kerja para jurnalis juga, jangan sampai nilai objektivitas dalam sebuah pemberitaan di media menjadi terabaikan. Dalam hal ini, media sudah seharusnya berada dalam porsi yang seimbang. Artinya, tidak melebih-lebihkan suatu pemberitaan pun juga tidak mengurangi substansi atau isi pemberitaan tersebut dan jangan sampai asas kuno yang berbunyi “bad news is good news” atau berita buruk adalah berita baik bagi media menjadi sebuah acuan dalam sebuah pemberitaan.

Apalagi dalam sebuah berita, sudah selayaknya ia bukan hanya sekedar informatif atau menyampaikan informasi belaka tetapi haruslah edukatif pula atau paling tidak mengandung unsur edukasi bagi para pembaca atau pendengar berita.

Mengingat akan karakteristik masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi dan terpancing oleh isu-isu maupun pemberitaan miring soal pemerintah, agama dan sebagainya yang sangat sensitif menjadikan media massa harus lebih berhati-hati dalam menyampaikan sebuah berita. Disinilah objektivitas pemberitaan dan profesionalisme jurnalistik benar-benar diuji.