Kritik Terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Oleh Feri Hyang Daika

''Jika agama tidak bisa menangkal kejahatan, ia pun tak bisa mengklaim dirinya sebagai daya kebaikan yang efektif ''
-Morris Raphael Cohen-


 sumber gambar: www.google.com

Pada era sekarang ini, di Indonesia khususnya, pengaturan mengenai agama dan kepercayaan warga negaranya menjadi sebuah polemik besar ketika kemajuan zaman menuntut kebebasan setiap individu untuk melakukan perbuatan tertentu maupun kebebasan yang berasal dari negara itu sendiri melalui UU No. 39/1999 tentang HAM yang mengatur serta menjamin beberapa kebebasan dari masyarakat Indonesia, termasuk kebebasan untuk beragama atau berkeyakinan.

Agama telah menjadi simbol keberadaban umat manusia Indonesia masa kini, akibatnya seorang warga negara Indonesia 'wajib' memeluk suatu agama tertentu dari 6 agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia, jika ia tidak mau dianggap sebagai manusia kafir dan berdosa karena tidak beragama. Pengaturan yang demikian tidak lebih seperti seekor anjing yang diikat lehernya oleh sang tuan, pemaksaan individu untuk beragama oleh negara. Lalu kalau-kalau hal itu memang benar demikian adanya, apalah artinya beragama bila hanya sebagai status dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan pelengkap administrasi negara?

Seseorang dianggap kafir dan berdosa bila tak memeluk suatu agama tertentu. Lalu kemudian muncul ormas-ormas yang berhaluan keagamaan menjadi semacam 'polisi moral' yang 'menghakimi' warga negara yang tidak patuh pada norma agama. Bahwa seseorang dianggap bertentangan dan bahkan melanggar ketentuan agama tertentu. Kemudian untuk melegitimasi tentang keber-agamaan di Indonesia, beberapa peraturan perundang-undangan menyematkan syarat-syarat tertentu berkaitan dengan agama. Misalnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatakan bahwa "perkawinan adalah sah menurut hukum masing-masing agamanya (Pasal 2)". sebuah pengaturan yang jauh dari kebijaksanaan, meng-agama-kan umat manusia ditengah keberagaman umat manusia itu sendiri.

Sementara bagi para penganut keyakinan, selalu berada pada posisi yang kurang beruntung di negeri Pancasila ini, negara yang menurut landasan filofisnya mengakui dan seharusnya menjamin kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan. Meskipun keyakinan itu sendiri diakui oleh negara tetapi pada konteks kenyataannya bahwa seseorang yang berkeyakinan harus pula beragama. Untuk itu, demi kelengkapan adminitrasi kependudukan, mereka harus mempunyai KTP dan didalam KTP itu terdapat kolom agama yang harus diisi oleh setiap warga negara. Disinilah letak kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi terabaikan. Mereka harus memilih satu agama tertentu padahal mereka punya keyakinan sendiri. Lalu apakah bedanya beragama dan berkeyakinan? Agama menjadi alat untuk mengajarkan kebaikan-kebaikan begitu pula dengan keyakinan, yang pada umumnya mereka begitu sangat menghargai prinsip-prinsip mulia seperti menjaga alam dan sebagainya.

Campur tangan negara dalam penentuan keber-agamaan penduduk Indonesia memang bila ditinjau dari tujuan negara, maksudnya adalah baik, membekali umat manusia dengan pengetahuan religiusitas dengan harapan akan tercipta insan yang ber-akhlak mulia (harapannya). Namun pengaturan tentang agama ini telah menjadi sarat dengan muatan politis. Seseorang yang tidak beragama 'dipaksa' untuk memeluk suatu agama tertentu yang jelas punya tujuan dan maksud tertentu pula, sedangkan para pemeluk keyakinan tertentu diluar agama yang secara sah diakui oleh negara menjadi terintimidasi lewat peraturan ini. Padahal, Pancasila menghendaki agar terjadi umat Indonesia yang bisa hidup berdampingan tanpa dipisahkan oleh suku, ras dan termasuk agama.

Tetapi kondisi di Indonesia masa kini, telah mencampur-adukan pemahaman religiusitasnya dengan kepentingan politis. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, sampai saat ini masih belum bisa diwujudkan sepenuhnya oleh negara dan sekelompok masyarakatnya sendiri.