PEREMPUAN SEBAGAI KAUM YANG TERMARJINALKAN

Oleh: Feri Hyang Daika

Berbicara tentang perempuan mungkin tidak akan pernah ada habisnya, mulai dari dari berbagai hal, baik itu sterotipe yang menyatakan bahwa sifat perempuan itu lemah lembut dan pemarjinalan terhadap kaum perempuan bahkan hingga implementasi perlindungan HAM terhadap perempuan yang masih sangat rendah sekali menjadi pokok bahasan tersendiri yang sangat menarik untuk dibahas . Dalam konteks kehidupan nyata dimasa kini, berbagai persoalan pasti tak akan pernah luput menghantui kita, begitu pula dengan kaum perempuan.
Perempuan pada saat ini ternyata masih terus mengalami dikotomi. Yaitu apakah dirinya menjadi objek ataukah justru menjadi subjek baik itu dalam pembangunan maupun dalam bidang lainnya seperti ekonomi. Bahkan dalam porsi rumah tangga sekali pun ternyata eksistensi kaum perempuan juga masih sangat terpinggirkan. Padahal, kemajuan dan eksistensi suatu bangsa dikaitkan dengan bagaimana peran aktif semua lapisan masyarakat, termasuk didalamnya adalah kaum perempuan.
Sesuatu yang sangat ironis memang dimana dalam kemajuan dalam berbagai bidang dan ilmu pengetahuan serta hidup dijaman yang sudah semodern ini, ketidakadilan dan pemarjinalan terhadap suatu kaum, khususnya kaum perempuan masih saja terus terjadi.
Produk-produk hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap kaum perempuan pun ternyata masih lemah. "Secara jujur saya akui, sudah banyak perundang-undangan yang memberikan perlindungan HAM terhadap perempuan. Namun dalam prakteknya, perlindungan tersebut hanya berlaku dalam tulisan," kata Ketua Subkomisi Hak Sipil dan Hak Politik Komnas HAM, Sulistyowati Sugondho dalam seminar "Strategi Menciptakan Kebijakan Daerah yang Tidak Diskriminatif" di Jakarta beberapa waktu lalu. Ia mencontohkan, dalam perundang-undangan yang mengatur hak politik, perempuan diatur untuk mendapat jatah sebanyak 30 persen dari bakal calon (Balon) anggota legislatif. Namun, dalam tataran praktis Balon perempuan kerap ditempatkan di bagian "buntut" atau bukan "nomor jadi".
Kasus ini adalah hanya salah satu bentuk ketidakadilan dan pemarjinalan terhadap kaum perempuan. Pada contoh-contoh lain, banyak kasus yang secara eksplisit menempatan perempuan sebagai golongan kelas “sampah”. Mengutip slogan “perempuanku adalah sampahku” yang dikemukakan oleh Ibu Harini Bambang Wahono yang menyebut dirinya sebagai praktisi lingkungan, jelas bahwa terdapat suatu anggapan yang sangat mendeskriditkan kaum perempuan.
Dewasa ini pergerakan kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan jender mungkin sedikit banyak sudah terwakili melalui berbagai kelompok atau golongan yang menyatakan diri sebagai “pejuang kesetaraan jender” yang banyak bermunculan di berbagai negara di belahan bumi ini. Namun sebuah pertanyaan kemudian muncul, apakah dengan adanya kelompok-kelompok feminisme yang dilatarbelakangi oleh berbagai ideologi dan faham-faham yang mungkin saja berdeda satu sama lainnya bisa menjamin bahwa akan adanya kesetaraan jender seutuhnya???
Menurut hemat saya, belum tentu. Belum tentu kaum pria secara umum mau memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada kaum perempuan untuk menyetarakan diri sehingga bisa sejajar dengan kaum pria dan menurut saya, selama hal itu tidak terjadi, dimana kaum pria “mau” memberikan ruang dan waktu yang sebebas-bebasnya kepada kaum perempuan untuk benar-benar bisa berdiri sejajar dengan kaum pria, maka hal itu akan mustahil terjadi dan kaum perempaun niscaya akan selalu menjadi kaum yang terpinggirkan dimanapun dan dalam bidang apapun.
Seorang tokoh feminisme yang cukup terkenal dengan mengatakan “perkawinan adalah neraka bagi perempuan”, Jessie Bernard, menurut saya hal itu terlalu ekstrim atau mungkin hal itu merupakan suatu bentuk keputus-asaan kaum perempuan terhadap realita yang terjadi dimana perempuan selalu menjadi sub-ordinated dalam berbagai bidang. Cara yang mungkin sedikit banyak bisa mengatasi agar hal-hal yang tidak merendahkan martabat manusia khususnya perempuan menjadi sangat jatuh adalah dengan menumbuhkan kesadaran tehadap seluruh individu dimanapun untuk bisa “menghargai”perbedaan, keberadaan dan eksistensi serta peran serta orang lain dalam kehidupan sehari-hari, terlepas itu dia adalah perempaun, laki-laki atau orang miskin sekalipun dimana kita sendiri tau bahwa manusia itu adalah zoon politicon atau mahkluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya.