Korupsi Dalam Perspektif Etika Sosial dan Politik


Feri Hyang Daika

Sudah sejak lama masalah korupsi dianggap sebagai persoalan berat dan mendesak yang harus diatasi dan menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia kedepannya. Melihat realita banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, seolah-olah menjadikan masalah korupsi sebagai sesuatu hal yang sepertinya sudah “biasa” terjadi, hampir bisa dipastikan setiap hari media massa baik cetak maupun elektronik menyajikan berbagai ragam berita tentang kasus korupsi di negeri ini. Tak dapat dipastikan, apakah korupsi memang sudah “membudaya” di kalangan masyarakat Indonesia sehingga dengan mudah dapat ditemukan di berbagai lini kehidupan di masyarakat ataukah memang kinerja lembaga yang menangani masalah korupsi di negeri ini mulai menunjukkan taji-nya dalam menguak serta memberantas berbagai masalah korupsi yang terjadi.
Bicara soal korupsi, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa korupsi terkait dengan kompleksitas masalah, antara lain adalah masalah moral. Lebih lanjut, K. Bertens mengatakan bahwa masalah korupsi dianggap sebagai suatu masalah etika. Mau tidak mau perlu diakui, korupsi menyangkut moral bangsa dan moral pribadi dari oknum yang terlibat dalam praktek tersebut. Dalam etika selalu berperan sekurang-kurangnya dua faktor berikut: di satu pihak ada norma-norma dan nilai-nilai moral yang menurut kodratnya bersifat umum dan di lain pihak, ada situasi khusus yang menurut kodratnya bersifat spesifik. Perilaku etis yang konkret merupakan penggabungan dari dua komponen tersebut. Demikian juga dalam konteks korupsi. Kejujuran, menghormati milik orang lain, tidak mencuri dan sebagainya merupakan nilai penting dalam konteks ini. Tetapi para koruptor akan membela diri dengan menunjuk kepada situasi spesifik mereka, misalnya mereka mengatakan bahwa gaji pegawai negeri tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Atau mereka hanya akan menunjuk kepada “kebudayaan” yang ada disekitarnya, sambil menegaskan: “semua orang melakukan hal itu”. Mereka mencari suatu dalih dalam situasi tertentu.
Dalam perspektif kehidupan profesi dikaitkan dengan kegiatan korupsi, etika profesi atau kode etik profesi yang dianggap sebagai pedoman suatu moralitas yang apabila dipatuhi atau ditaati sepenuhnya oleh seorang profesionalis, maka setidaknya ada sebuah harapan bahwa dengan demikian kode etik profesi sangat berperan besar dalam hal mereduksi kegiatan korupsi yang dilakukan oleh kalangan profesionalis, sebab profesionalisme dan etika profesi merupakan suatu kesatuan yang manunggal, yang dalam hal ini etika profesi berperan sebagai alat pengatur karena etika profesi mengontrol perilaku anggotanya agar tetap bekerja menurut etika yang disepakatinya.
Masalahnya bagaimana dengan korupsi yang dilakukan oleh para politikus jika dikaitkan dengan etika, khususnya etika profesi? Politikus bukanlah profesi yang jelas-jelas tidak meiliki kode etik profesi. Di luar konteks peraturan perundangan, hanya moral si politikus lah yang menjadi rambu-rambu atas keingingannya untuk melakukan perbuatan korupsi. Namun apalah artinya moral masa kini, toh yang menilai baik buruk suatu moral adalah orang lain yang dalam hal ini dilakukan oleh masyarakat umum. Penilaian dan pemberian label sebagai seorang koruptor bukanlah menjadi jaminan tidak akan terjadi korupsi lagi di negeri ini, sepanjang ada niat seseorang (pejabat) untuk memperkaya diri sendiri dengan cara “mencuri” uang rakyat yang jelas-jelas bertentangan dengan norma hukum dan moral serta etika masih terus tertanam didalam diri si pelaku korupsi, maka praktek korupsi pasti masih akan terus berlanjut hingga kapanpun.