PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM WARIS NASIONAL DENGAN HUKUM WARIS ISLAM

Oleh: Feri Hyang Daika

A. PERSAMAAN
1. Segala harta warisan akan berpindah dari tangan orang yang meninggalkan warisan kepada semua ahli warisnya.
2. Dalam hal biaya pemakaman mayat, tidak ada perbedaan antara hukum waris Islam dan Nasional, artinya sama yaitu bahwa harta warisan yang pertama harus dimanfaatkan untuk membayar biaya pemakaman mayat tersebut.
3. Subjek hukumnya sama yaitu antara si Pewaris dan ahli waris.
4. Unsur pewarisannya sama, secara individual memberi kebebasan kepada seseorang yang memiliki harta untuk membuat testament.
5. Yang berhak mewaris pada dasarnya adalah sama, yaitu keluarga sedarah dari si Pewaris.

B. PERBEDAAN
WARIS ISLAM WARIS NASIONAL
Bentuk harta warisan Pada dasarnya berpindah dari tangan yang meninggal dunia tehadap semua ahli waris berupa barang-barang peninggalan dalam keadaan bersih, artinya sudah dikurangi dengan pembayaran utang-utang dari orang yang meninggalkan warisan serta dengan pembayaran-pembayaran lain yang disebabkan oleh meninggalkanya orang yang meninggalkan warisan. Yang diwariskan kepada semua ahli waris itu tidak saja hanya masalah-masalah yang ada manfaatnya bagi mereka, akan tetapi utang-utang mereka yang meninggalkan warisan, dalam arti bahwa kewajiban membayar utang-utang itu pada kenyataannya berpindah juga kepada semua ahli warisnya.
Mewaris Hutang Dalam Kompilasi Hukum Islam buku II, bab I tentang ketentuan umum, dapat disimpulkan bahwa hukum kewarisan Islam memisahkan konsep antara harta peninggalan dan harta warisan. Yang dimaksud harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. Mr.Ter Haar mengatakan bahwa hanya harta peninggalan yang tinggal tak terbagi-bagilah yang harus dipergunakan untuk membayar hutang-hutang si pewaris. Titik pangkal ini mengakibatkan perumusan kaedah hukum adat yakni hanya sisa harta peninggalan dapat diwaris. Sebaliknya KUHPerdata memandang selaku hakekat, bahwa yang diwaris oleh ahli waris itu tidaklah hanya hal-hal yang bermanfaat saja bagi mereka, melainkan juga hutang dari si pewaris.
Hakekat dalam KUHPerdata bahwa hutang-hutang si pewaris beralih pula kepada ahli waris juga menentukan bahwa para ahli waris dapat menghindarkan peralihan itu dengan jalan menerima atau menolak warisan atau menerima dengan syarat, yaitu menerima tetapim dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang si pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
Dengan demikian KUHPerdata mengenal 3 macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, yakni:
1. Ia dapat menerima harta warisan seluruhnya menurut hakekat tersebut dari KUHPerdata, termasuk seluruh hutang si pewaris.
2. Ia dapat menolak harta warisan dengan akibat bahwa ia sama sekali tidak tahu menahu tentang pengurusan harta warisan itu.
3. Ia dapat menerima harta warisan dengan syarat bahwa harus diperinci barang-barangnya dengan pengertian bahwa hutang-hutang hanya dapat ditagih sekedar harta warisan mencukupi untuk itu.
Banyaknya pembagian dari harta warisan Menurut hukum agama Islam terdapat dua golongan ahli waris, yaitu ke 1 para “asabat” yang dianggap dengan sendirinya sejak dahulu kala sebelum agama Islam menurut hukum di tanah Arab, merupakan ahli waris, dan ke 2; orang-orang yang oleh beberapa pasal dari Kitab Al-Qur’an ditambahkan selaku ahli waris pula (koranische erfgenamen) . Hukum BW mengenal 4 golongan ahli waris yang bergiliran hak atas harta warisan, dengan pengertian apabila golongan ke 1 tidak ada, maka golongan ke 2 lah yang memiliki ha, demikianlah selanjutnya.
Kelahiran Anak di Luar Pernikahan Oleh hukum Islam ditetapkan adanya tenggang waktu, yaitu tenggang yang sekurang-kurangnya mesti ada antara waktu nikah si istri dan kelahiran anak, dan lagi suatu tenggang, yang selama-lamanya harus ada antara putusnya pernikahan atau perkawinan dengan lahirnya si anak.
Tenggang waktu yang dimaksud yaitu sekurang-kurangnya antara nikah si ibu dan kelahiran si anak adalah 6 bulan, sedang tenggang yang selama-lamanya harus ada antara putusnya tali pernikahan dan kelahiran anak yaitu tenggang iddah, ialah 4 bulan dan 10 hari. Dalam BW yang mengatur mengenai hubungan hukum tentang warisan antara si ibu dan si anak di luar pernikahan, tercantum dalam Pasal 862 s.d 873 BW.
Antara anak dan ibu baru ada hubungan hukum apabila si ibu mengakui anak itu sebagai anaknya, dimana pengakuan itu mesti dilaksanakan dengan sistem tertentu, yaitu menurut Pasal 281 BW dalam akte kelahiran si anak dalam akte pernikahan (perkawinan) bapak dan ibu di depan Pegawai Catatan Sipil (ambtenar bij de Burgelijk stand), atau dengan akta otentik tersendiri (akte notaries) atau jadi ½ dan tidak ¼ dari bagian anak sah.
Cara Penghibahan Wasiat Dalam hukum islam tidak disebutkan tentang ketentuan cara yang khusus untuk membuat keinginan terakhir dari si peninggal warisan. Cuma ditetapkan bahwa ucapan tersebut harus jelas dan tegas serta dihadiri dan disaksikan oleh orang-orang yang sekaligus bertindak sebagai saksi akan kebenaran ucapan tersebut.
Bila keinginan terakhir ini ditulis dalam sepucuk surat, maka surat hibah wasiat tersebut dianggap sah bila isinya dibacakan secara lisan kepada ahli waris dan saksi-saksi. Menurut BW ada tiga macam cara membuat hibah wasiat, yaitu:
1. Testament rahasia (geheim)
2. Testament tak rahasia (openbaar)
3. Testament tertulis sendiri (olografis), yang biasanya bersifat rahasia ataupun tidak rahasia.
Dalam ketiga cara testament ini dibutuhkan campur tangan seorang notaris.