Euthanasia, Sebagai Sebuah Dilema

Oleh: Feri Hyang Daika

Permasalahan tentang euthanasia, aborsi dan hukuman mati adalah suatu permasalahan klasik yang secara universal masih saja menjadi perdebatan yang berkepanjangan hingga sekarang ini dibelahan bumi manapun yang ditinjau dari berbagai aspek atau sudut pandang.


 Euthanasia Sebagai Sebuah Dilema
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani: eu (baik) dan thanatos (kematian) sehingga dari asalnya berarti “kematian yang baik” atau “mati dengan baik”. Saat ini satu-satunya tempat dimana hukum secara eksplisit mengizinkan orang untuk mengakhiri hidupnya dengan euthanasia adalah negara bagian AS, Oregon. Melihat dari asal kata yang jauh dari anggapan banyak orang yang mengatakan bahwa euthanasia itu sama halnya dengan bunuh diri dengan cara suntik mati sehingga jelas-jelas secara hukum agama, moral dan etika adalah suatu bentuk pelanggaran.

Berbicara tentang hak asasi manusia, asasi berarti fundamental atau mendasar sehingga tak satu orangpun bisa mengambil daripadanya apa yang telah menjadi haknya secara asasi. Salah satunya adalah hak untuk hidup. Kita semua sepakat dan tak dapat disangkal lagi bahwa hak untuk untuk hidup adalah hak asasi atau hak dasar dari setiap manusia. Paling tidak begitulah gambaran secara garis besar mengenai isi salah satu pernyataan yang tertuang dalam declaration of human righs. Dari itu semua timbul pertanyaan, kalau hak hidup adalah merupakan hak asasi untuk hidup, lalu bagaimana hak untuk mati? Apakah ia bisa disebut dan dimasukkan dalam kategori sebagai hak asasi manusia?

Demi pengetahuan, hal ini penting sekali untuk dibahas dalam kerangka ilmiah agar tidak semakin mengaburkan segala hal pemahaman yang mungkin saja keliru tentang berbagai persoalan klasik yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

Euthananisa atau suntik mati di Indonesia sendiri jelas-jelas sangat dilarang, begitu pula dengan aborsi, terutama mengenai aborsi, hal tersebut secara tegas diatur dalam perundang-undangan yang bisa dilihat pada Pasal 341 sampai dengan 349 BAB XIX tentang Kejahatan Terhadap Nyawa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pindana Indonesia.

Kembali kepada permasalahan hak hidup sebagai hak asasi manusia dan apakah hak untuk mati bisa dikategorikan sebagai hak asasi, K. Bertens dalam bukunya yang berjudul Persfektif Etika mengatakan bahwa para etikawan ternyata tidak sedikit juga yang mendukung diberlakukannya euthanasia, argumen yang paling banyak didengar adalah the rights to die. Jika seseorang menderita maka lebih baik ia mengakhiri hidupnya daripada ia harus menanggung derita yang tak berkesudahan. Di Indonesia, seruan akan legalisasi euthanasia belum terdengar lantang. Kemungkinan besar Menteri Negara urusan HAM kita belum pernah mendapat permintaan untuk menaruh perhatian kepada “hak untuk mati”. Tetapi tidak mungkin diragukan bahwa perawatan pasien yang tidak bisa disembuhkan merupakan suatu peristiwa medis yang maha penting. Jika pasientidak bisa disembuhkan maka, profesi medis tidak boleh lepas tangan. Perawatan yang palliative atau bersifat mengurangi rasa sakit yang sebaik mungkin harus tetap diupayakan agar pasien dapat meninggal dengan pantas tanpa penderitaan yang berselbihan.

Meskipun bisa mati dengan pantas atau wajar dengan tanpa penderitaan yang berlebihan, menurut saya tidaklah sama atau harus diasumsikan sama dengan apa yang diatur di negara bagian AS, Oregon sebagai satu-satunya tempat yang mengijinkan dimana seseorang dapat mengakhiri hidupnya dengan sekali suntikan. Euthanasia bukanlah jalan terakhir untuk menghadapi segalanya dan bukanlah satu-satunya cara yang paling efektif dan efisien untuk mengakhiri nyawa seseorang yang menderita secara tak berkesudahan. Paling tidak perwatan secara palitatif adalah satu cara dimana kita sebagai umat manusia memanusiakan manusia yang sedang menghadapi kesakitan yang berkepanjangan dan sebagai upaya dalam menjunjung peri kehidupan antar sesama manusia.