POSISI WANITA DALAM KANCAH POLITIK MENURUT UNDANG-UNDANG 39 TAHUN 1999 tentang HAM

Oleh: Feri Hyang Daika

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini meruapakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstusional maupun non konstitusional. Disamping itu juga politik dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, antara lain:
  1. Politik adalah usaha warga negara utk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik aristoteles).
  2. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelengaraan pemerintahan dan negara.
  3. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
  4. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.


Dalam konteks memahami politik perlu dipahamai beberapa kunci, antara lain kekuasaan politik, leigitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang parpol.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 mengatur hak wanita dalam kancah politik, baik itu dipilih maupun memilih. Dalam Pasal 46 UU No.39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa wanita dijamin keterwakilannya dalam anggota badan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun dalam pasal tersebut banyak kelemahannya, yaitu keterwakilan wanita harus sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Yang menjadi pertanyaan disini adalah:

  1. Persyaratan tersebut ditentukan oleh siapa?
  2. Jika persyaratan yang ditentukan tersebut bertentangan dengan HAM khususnya hak wanita, apakah UU No 39 Tahun 1999 masih menjamin hak wanita melaksanakan perannya, baik untuk dipilih maupun memilih?
  3. Mengapa tidak ada sanksi yang melekat apabila Undang-Undang ini dilanggar?

Selain itu dalam Pasal 49 ayat (1) dijelaskan bahwa wanita berhak memilih, dipilih,dan diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa Undang-Undang tersebut tidak berjalan efektif karena banyak wanita yang mengajukan diri sebagai pemimpin malahan di persulit oleh birokrasi yang ada. Ini salah satu bentuk pendiskriminasian terhadap wanita. Yang mana hak wanita selalu dimarginalkan oleh penguasa.

Wanita selalu dianggap di bawah laki-laki atau budaya patriarkal. Bukan hanya dalam dunia politik saja wanita dianggap tidak mampu untuk memimpin, namun di bidanhg pekerjaan yang lain juga wanita selalu dianggap tidak mampu untuk memimpin. Sebagai contoh dapat dilihat dalam Pemilu Legislatif baru-baru ini, hanya berapa persen wakil wanita yang berhasil masuk Senayan. Apalagi Pemilu tahun ini tidak memakai kuota 30% , tetapi memakai sistem nomor urut yang diselang-seling sehingga wanita semakin sulit untuk masuk ke Senayan sebagai wakil dari wanita.

Dalam mengambil keputusan juga, suara atau pendapat wanita jarang di dengarkan. Sekarang bagaimana kita menyikapi permasalahan dalam gender yang sudah menjadi ideologi warga negara Indonesia. Kita harus bisa memahami bahwa wanita juga adalah warga negara Indonesia yang punya hak untuk berpendapat dan untuk maju sebagai pemimpin.