MENGADUKAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH POLISI

sumber gambar: www.google.com


A. Bentuk-Bentuk Pelanggaran
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat. Secara yuridis dapat disimpulkan polisi juga merupakan aparat penegak hukum, sama halnya dengan pejabat pemerintah, hakim dan jaksa.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum, polisi harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku: UU Kepolisian Negara, KUHP, KUHAP dan peraturan lainnya berupa Kode Etik Profesi Kepolisian yang diatur dalam Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Keputusan Kapolri) Nomor Kep/32/VII/2003, tanggal 1 Juli 2003 dan Peraturan Disiplin Anggota
Kepolisian Republik Indonesia yang diatur dalam PP Nomor 2 Tahun 2003.

Peraturan-peraturan tersebut bersifat mengikat, artinya apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian, seyogianya dapat dikenakan sanksi, seperti yang tercantum dalam Keputusan Kapolri Nomor Kep/32/VII/2003 tanggal 1 Juli 2003.

“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa:
1. Bertutur kata kasar dan bernada marah,
2. Menyalahi atau menyimpang dari prosedur tugas,
3. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat,
4. Mempersulit masyarakat yang memutuhkan bantuan/pertolongan,
5. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat,
6. Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan,
7. Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umur,
8. Merendahkan harkat dan martabat manusia”
(Pasal 7 Kode Etik Profesi Kepolisian)

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat menimbulkan hak bagi masyarakat yang dirugikan untuk membuat laporan atau pengaduan supaya aparat kepolisian yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran dapat ditindak secara hukum.

B. Tata Cara Pengaduan
1. Pelapor berdasarkan Surat Keputusan Kapolri Nomor 33 Tahun 2003, dapat berasal dari:
a. Masyarakat (korban/kuasanya),
b. Anggota Polri,
c. Instansi terkait,
d. LSM,
e. Media massa.

2. Laporan disampaikan kepada Pelayanan Pengaduan (Yanduan) baik yang ada di Mabes Polri maupun yang berada pada tingkat daerah maupun wilayah.

3. Pemeriksaan awal dilaksanakan oleh pengemban fungsi Provoost pada setiap jenjang organisasi Polri, seperti: Divpropam (Divisi Profesi dan Pengamanan) pada tingkat Mabes Polri.

4. Hasil pemeriksaan akan ditelaah, dengan hasil:
a. Jika terdapat unsur tindak pidana maka berkas perkara akan diberikan kepada Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan di pengadilan umum,
b. Jika terdapat unsur pelanggaran kode etik maka berkas perkara akan dilimpahkan kepada atasan yang berhak menghukum (Ankum) yang selanjutnya akan dibuat komisi kode etik Polri,
c. Jika terdapat unsur pelanggaran disiplin maka berkas perkara akan dilimpahkan kepada atasan yang berhak menghukum (Ankum) yang selanjutnya akan diperiksa dalam sidang disiplin.

5. Terhadap masing-masing pelanggaran memiliki sanksi yang berbeda, diantaranya:
a. Jika terbukti pelanggaran yang dilakukan memiliki unsur pidana, maka sanksi yang akan diberikan berdasarkan pada ketentuan pasal-pasal dalam KUHP,

b. Jika terbukti yang terjadi adalah pelanggaran kode etik maka sanksinya berupa:
i. Dinyatakan sebagai perbuatan tercela,
ii. Diperintahkan untuk menyatakan penyesalan dan minta maaf secara terbatas atau terbuka,
iii. Tidak layak lagi menjalankan profesi kepolisian.

c. Jika terbukti yang terjadi adalah pelanggaran disiplin maka sanksinya berupa:
i. Teguran lisan,
ii. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama satu tahun,
iii. Penundaan kenaikan gaji berkala,
iv. Penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun,
v. Mutasi,
vi. Pembebasan dari jabatan,
vii. Penempatan dalam tempat khusus selama 21 hari.

Sumber referensi: Buku Panduan Hukum Di Indoensia, Edisi kedua, Yayasan Obor Indonesia, 2009.