Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Menerbitkan Peraturan Daerah Tentang Agama



Oleh: Feri Hyang Daika



Sumber ilustrasi: www.google.com
Akhir-akhir ini buntut dari dikeluarkannya kebijakan SKB 3 Menteri tentang pelarangan penyebaran ajaran Ahmadiyah yang ditetapkan pada tanggal 9 Juni 2008 lalu, telah menimbulkan pro dan kontra ditanah air, terlebih banyak kalangan menilai bahwa para Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak mengindahkan atau mematuhi isi dari SKB 3 Menteri yang pada pokoknya memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut dan pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya serta dengan tegas pula disebutkan bahwa anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Atas dasar SKB 3 Menteri itu pula, di berbagai daerah kemudian muncul keputusan atau larangan terhadap penyebaran ajaran Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah masing-masing. Lebih jauh, banyak pihak kemudian mendesak pemda agar menerbitkan suatu Perda atau Peraturan Daerah yang isinya mengatur tentang pelarangan terhadap penyebaran ajaran Ahamadiyah yang berpangkal pada penistaan terhadap agama.

Terhadap penistaan atau penodaan agama, kita semua mungkin dapat mencapai kata sepakat bahwa tindakan tersebut masuk kedalam ranah hukum pidana yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan kriminal dan diancam dengan sanksi pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 156a KUHPidana. Dan dalam SKB 3 menteri pun sudah mempertegas hal ini dengan memperingatkan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagai mana tertuang dalam isi keputusan SKB 3 Menteri, dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Kewenangan Pemda

Sudah menjadi suatu kewajiban bahwa setiap perbuatan pemerintah yang dilakukan harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Jika tidak ada kewenangan yang sah, maka seorang pejabat tata usaha negara tidak dapat melakukan suatu perbuatan pemerintah, baik itu hal yang bukan perbuatan hukum (feitelijke bandelingen) maupun perbuatan hukum (rechts handelingen).

UU RI No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Ke-2 Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah mengatur dengan tegas mengenai alas hak bagi pejabat tata usaha negara di daerah terkait dengan pembagian urusan antara pemerintah pusat dan daerah yang menjadi domein masing-masing pihak. Pada Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangga daerahnya sendiri secara mandiri sebagai daerah yang otonom, tetapi meskipun demikian Pemerintah Daerah tidak berwenang untuk mengatur 6 hal sebagaimana diatur dalam Pasal 10. Keenam hal tersebut meliputi :

  1. Politik luar negeri; dalam arti mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri dan lain sebagainya.
  2. Pertahanan; misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menytakan damai dan perang, menetapkan wajib militer dan bela negara bagi setiap warga negara dan sebagainya.
  3. Keamanan; misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional.
  4. Moneter dan fiskal nasional; mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter dan sebagainya.
  5. Yustisi; mendirikan badan peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, menetapkan kebijakan kehakiman dan kejaksaan, dan sebagainya.
  6. Agama; memberikan pengakuan terhadap keberadaan agama, menetapkan kebijakan dalam menyelenggarakan kehidupan keagamaan dan sebagainya dan bagian bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah.


Bahwa akibat dari dikeluarkannya SKB 3 Menteri tentang pelarangan penyebaran ajaran Ahmadiyah membuat banyak pemerintah daerah kemudian menjadi terprovokasi untuk membuat Perda yang mengatur pelarangan serta pembubaran kelompok Ahmadiyah di daerah atau mengatur tentang agama secara umum (termasuk penistaan agama), apabila ditinjau dari aspek undang-undang yang berlaku, maka tindakan Pemda dalam rangka penerbitan Perda yang mengatur tentang agama tersebut tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan karena tidak berwenang untuk itu.

Terlebih apabila Kepala Daerah menerbitkan Perda tentang agama, maka perbuatan tersebut telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni asas jangan mencampur-adukkan kewenangan, sebagaimana diatur dalam ketentuan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. PM. Hadjon merumuskan mengenai asas pemerintahan menurut hukum, khususnya yang berkenaan dengan penerbitan suatu keputusan tata usaha negara agar mempunyai nilai sah haruslah memenuhi:


  1. Asas bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (wetmatigheit) dalam hal wewenang, prosedur dan substansi wewenang.
  2. Asas tidak menyalahgunakan wewenang untuk tujuan lain (detournement de pouvoir).
  3. Asas bertindak rasional, wajar atau dirumuskan sebagai asas larangan bertindak sewenang-wenang (willekeur).
  4. Bertindak sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik.


Undang-Undang Nomor 1 tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Terhadap Agama tidak dapat dijadikan dasar dan pembenaran bagi Pemerintah Daerah untuk membuat serta menerbitkan suatu peraturan daerah yang isinya mengatur tentang agama. Bahwa pada kenyataannya terdapat penyelewengan-penyelewengan terhadap keagamaan yang dikategorikan sebagai pelanggaran pidana, tidak perlu diatur lagi dalam sebuah peraturan daerah karena telah cukup diatur dalam berbagai peraturan pidana yang telah ada.